II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna
2.1.1.
Deskripsi Ikan Tuna
Ikan tuna
termasuk dalam keluaraga Scombroidae yang
tergolong ikan perenang cepat, bertubuh seperti cerutu memiliki dua sirip
punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan
ini juga termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis cepat besar dan sebagin besar
memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet)
di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut
kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup
seluruh hipural. Sirip-sirip punggung dubur, perut dan dada pada pangkalnya
mempunyai lekukan pada tubuh (Saanin, 1986).
Menurut Ahira
(2010), Ikan Tuna adalah
ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari family Scombridae, terutama
genus thunnus. Ikan ini adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77
km/jam), tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang
biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang.
2.1.2.
Klasifikasi Ikan Tuna
Tubuh ikan
tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada
bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna
kuning cerah dengan pinggir berwarna
gelap.
Menurut Saanin
(1984) klasifikasi ikan Tuna adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus alalunga (Albacore)
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
Tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah
tertangkap kecuali setelah ditangani dengan baik, hal ini berdasarkan pendapat
Murniyati dan Sunarman (2000). Suhu yang
tinggi mempercepat dan memperpendek rigor mortis dan mengantarkannya ke proses autolysis dan pembusukan oleh bakteri yang berjalan
sangat cepat, karena tuna ditangkap dari populasi liar, nelayan tidak dapat
leluasa memilih ikan dengan kondisi biologis tertentu misalnya yang berkadar
lemak tinggi.
2.1.3.
Kandungan Gizi Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang memiliki nilai
komersial tinggi yang banyak diminati, baik di pasar lokal maupun
internasional. Ini dikarenakan selain rasanya yang lezat juga kandungan zat
gizinya yang mampu menyehatkan orang dewasa dan mencerdaskan anak-anak. Dilihat
dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang sangat luar biasa. Kadar
protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini
dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna
dan telur masing-masing 22 g dan 13 g (Efendi, 2008).
Sebagai salah satu komoditas laut,
ikan tuna juga kaya akan asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air
laut, seperti ikan tuna, adalah 28 kali lebih banyak daripada ikan air tawar.
Asam lemak omega-3 mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel
saraf, termasuk sel otak, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan terutama pada
anak-anak. Ikan tuna juga kaya berbagai mineral penting yang
esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan tuna mencapai 28 kali kandungan
iodium pada ikan air tawar. Konsumsi 100 gram ikan tuna sirip biru cukup untuk
memenuhi 43,6 persen kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Ikan tuna juga
merupakan sumber yang baik untuk vitamin B6 dan asam folat (Efendi, 2008). Namun
di samping ikan tuna memiliki protein yang tinggi, ikan tuna juga mempunyai
kelemahan karena mengandung histidin yang dapat berubah menjadi histamin
apabila suhu dalam proses penanganan melebihi 5° C, oleh karena itu dalam
proses penanganan harus menjaga suhu agar tetap di bawah 5° C. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat
dilihat dalam Tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp)
per 100 g daging
Jenis Ikan Tuna
|
||||
Komposisi
|
Bluerin
|
Skip Jack
|
Yellow Fin
|
Satuan
|
Energi
Protein
Lemak
Abu
Kalsium
Fosfor
Besi
Sodium
Retinol
Thiamin
Riboflavin
Niasin
|
121,0
22,6
2,7
1,2
8,0
190,0
2,7
90,0
10,0
0,1
0,06
10,0
|
131,0
26,2
2,1
1,3
8,0
220,0
4,0
52,0
10,0
0,03
0,15
18,0
|
105,0
24,1
0,1
1,2
9,0
220,0
1,1
78,0
5,0
0,1
0,1
12,0
|
Kal
g
g
g
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
|
(Sumber
: Maghfiroh, 2000)
2.2.
Pengemasan Hermetis
Pengemasan
hermetic merupakan pengemasan yang dilakukan dengan wadah yang tertutup rapat
dan dilakukan sterilisasi dengan panas.
Menurut Desrosier (1988), pengemasan hermetis dibagi
menjadi dua yaitu : kemasan gelas dan kemasan kaleng.
a. Kemasan
gelas yaitu pengemasan yang menggunakan gelas sebagai wadah untuk mengemas
suatu produk.
b. Kemasan
kaleng yaitu pengemasan yang menggunakan wadah kaleng untuk mengemas suatu
produk.
Kemasan
hermetis harus memiliki persyaratan antara lain :
Ø Tidak
mudah dilalui oleh gas.
Ø Tahan
terhadap pemanasan dan sterilisasi.
Ø Tidak
bersifat transparan seperti kertas dan plastik.
2.3.
Pengalengan
2.3.1.
Pengertian Pengalengan
Pengalengan
merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat dan
disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan cara yang paling umum
dilakukan karena bebas dari kebusukan serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita
rasa dan daya tarik (Winarno, 1994). Faktor-faktor utama yang menentukan daya
awet ikan kalengan adalah :
1. Sterilisasi
yang mematikan seluruh bakteri dalam isi kaleng.
2. Kaleng
yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan di luar.
Murniyati dan Sunarman (2000), menambahkan
bahan mentah yang dipakai terutama adalah ikan segara atau ikan basah. Selain
itu, pengalengan juga dapat dilaukan pada ikan beku dan ikan asap. Bahan mentah
untuk pengalengan harus dipilih yang betul-betul baik. Ikan yang kurang segar
akan menimbulkan banyak kesulitan dalam bahan
pengolahan dan mengurangi daya awetnya.
Pengawetan
makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara pengolahan untuk
menyelamatkan bahan makanan dari proses pembusukan. Dalam proses pengalengan,
ikan dimasukkan ke dalam suatu wadah (container)
yang ditutup rapat supaya udara dan zat-zat atau organisme perusak atau
pembusuk tidak dapat masuk. Kemudian
wadah dipanasi sampai suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula guna
mematikan mikroorganisme seperti
jamur, ragi, bakteri, enzim termasuk spora yang terbentuk. Setidak-tidaknya
mikroorganisme ini dihambat perkembangannya (Moeljanto, 1992).
Daya awet
makanan kaleng sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan pengan, jenis
wadah, proses pengalengan yang dilakukan dan kondisi tempat penyimpanannya
tetapi jika proses pengolahannya sempurna maka daya awet produk yang dikalengkan, daya awetnya lama.
Kerusakan makanan kaleng pada umumnya terjadi karena perubahan tekstur dan cita
rasa dibandingkan karena mikroorganisme (Adawyah, 2007).
2.3.2.
Prinsip Pengalengan
Pemusnahan mikroorgnaisme dengan
pemanasan dalam pengalengan ikan pada prinsipnya menyebabkan terjadinya
denaturasi protein, serta menonaktifkan enzim yang membantu dalam metabolisme, hal ini berdasarkan pendapat Adawyah
(2007). Penerapan panas dapat bermacam-macam tergantung dari jenis
mikroorganismenya, fase mikroorganisme dan kondisi lingkungan spora bakteri.
Semakin rendah suhu yang diberikan maka semakin banyak waktu yang diperlukan
selama pemanasan. Panas yang diberikan dengan suhu 100°C sampai 120°C dan tekanan 0,8 atmosfer sampai 0,95
atmosfer serta memerlukan waktu 80 menit sampai 95 menit tergantung jenis ikan
dan ukuran kaleng sehingga dapat memusnahkan sebagian sel
vegetatif, sebagian besar atau seluruh sel.
2.3.3. Medium Pengalengan
Didalam pengalengan terdapat medium
yang digunakan sebagai medium untuk mengurangi resistensi terhadap kaleng dan
organism pembusuk.
Medium yang
dapat digunakan antara lain :
a. Medium asam
Pada medium asam ini dapat
menggunakan sari tomat dengan asam sitrat, laktat atau asetat untuk mengubah
resistensi Bacillus thermoacidurans
terhadap panas.
b. Medium Gula
Beberapa peneliti menduga bahwa
larutan gula dapat menaikkan resistensi spora dengan terjadinya dehidrasi
parsial protoplasma sel, melindungi protein dari koagulasi.
c. Medium garam
Garam dalam larutan (sampai empat
persen) dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan tetapi kadar
yang lebih tinggi (8 persen atau lebih)
menurunkan resistensi spora terhadap pemanasan.
d. Medium Lemak
Lemak atau minyak mempunyai daya
menghambat dalam usaha mematikan spora bakteri dengan pemanasan lembab serta
berperan sebagai agensia penyedap dan memiliki daya mengawetkan.
e. Medium
cabai pedas
Cabai merupakan buah dan tumbuhan
anggota genus Capsicum. Cabai mengandung senyawa aktif berupa Capsaicin. Cabai
merupakan zat perasa
alami. Cabai atau cabe merah adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran
maupun bumbu,
tergantung bagaimana digunakan. Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang
berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung
antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas.
Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga
mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat antikanker
(Kilham 2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980). Cabai memiliki beberapa manfaat
kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam
mengendalikan penyakit kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi
pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi
secukupnya untuk menghindari nyeri lambung.
2.4. Mutu dan kemunduran
mutu tuna kaleng
Dalam upaya untuk menjaga mutu produk tuna, pemerintah telah mengembangkan
standar mutu tuna kaleng dalam SNI 01–2712–1992. Ikan tuna dalam kaleng adalah
potongan daging putih ikan tuna yang telah mengalami pemasakan pendahuluan dan
dikalengkan dalam medium minyak atau air garam (brine) ( Dewan
Standarisasi Nasional, 1992). Syarat mutu tuna dalam kaleng menurut SNI
01-2712-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu ikan tuna dalam
kaleng
Jenis Uji
|
Satuan
|
Persyaratan Mutu
|
Organoleptik
|
|
7
|
Mikrobiologi
1) TPC anaerob
2) TPC
aerob
|
per gram
per gram
|
0
0
|
Kimia
1) Stanum (Sn)*)
2) Plumbum (Pb)
*)
3) Arsen (As)
*)
4) Mercuri (Hg)
*)
5) Histamin
|
ppm
ppm
ppm
ppm
mg/100 g
|
250
5
1
0,5
20
|
Fisika
1) Fisik kaleng
2) Bobot
tuntas
|
%
|
Baik
70
|
Sumber: Dewan
Standarisasi Nasional (1992)
*) Bila direkomendasikan
2.5.
Prosedur Pengalengan Ikan Tuna
2.5.1. Persiapan Wadah Kaleng
Di dalam pengalengan suatu produk penting diperhatikan untuk
selalu menggunakan jenis kaleng yang sesuai produk, dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya perubahan warna. Kaleng-kaleng yang akan digunakan
hendaknya diperiksa solderannya, adanya karat atau cacat lainnya, misalnya
lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang telah cacat hendaknya jangan digunakan.
Kaleng yang baik kemudian dicuci
dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng
jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup
kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung
plastik
atau dipak dalam
karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air (Adawyah, 2007).
Jenis kaleng yang digunakan untuk
pengalengan ikan tuna harus bersifat tahan terhadap korosi, terutama pada
bagian dalam (yang kontak dengan produk). Salah satu cara untuk mencegah
terjadinya korosi pada kaleng adalah dengan melapisi kaleng dengan enamel.
Enamel sendiri merupakan bahan organic yang dilapiskan pada kaleng untuk
melindungi dari korosi dan juga untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontak
antara bahan makanan dengan kaleng yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan
warna pada produk pangan. Enamel yang biasa digunakan pada kaleng ikan adalah
jenis non metal, seperti fenolik dan epoksi fenolik (Choles,dkk, 2003).
2.5.2.
Penerimaan Bahan Baku
Dalam
proses pengalengan, kesegaran ikan memegang peranan sangat penting. Sebab, bila
ikan sudah tidak segar lagi, maka mutu ikan kaleng pun menurun. Bau ikan yang
busuk atau tekstur ikan yang mulai lembek tidak dapat dihilangkan sebab pada
pengukusan pendahuluan (pre cooking) yang seharusnya menyebabkan daging
ikan makin kompak, malahan membuat daging ikan yang mulai busuk menjadi rapuh.
Oleh karena itu tempat, cara dan lama penyimpanan bahan mentah juga
mempengaruhi mutu produk akhir. Sebab, dari cara-cara penanganan permulaan
inilah mutu bahan mentah dapat ditentukan. Jadi, meskipun pada saat disimpan
dalam palka ikan masih sangat segar tetapi bila penanganan dan penyimpanannya
sembarangan, maka mutu produk akhir pasti tidak memenuhi syarat atau standart
mutu ikan kaleng (Moeljanto, 1992).
Menurut SNI
01-2712.2 (1992), setiap bahan
baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik
dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang
tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar
harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum
5°C. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses
penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25°C. Bahan
baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya
harus disimpan pada suhu chilling (0°C).
2.5.3.
Pencucian dan Penyiangan
Pencucian dan penyiangan Ikan Tuna pada proses
pengalengan antara lain, hal ini berdasarkan pendapat Moeljanto (1992) :
Ø Isi
perut dan bagian-bagian yang tidak dikalengkan (kepala, sirip-sirip, ekor, dan
daging bagian perut) untuk jenis ikan tertentu seperti tuna dipisahkan.
Ø Pada
pengalengan ikan-ikan besar seperti tuna, duri dan tulang-tulangnya harus
dibuang. Kepala dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan. Untuk
ikan yang bersisik lebih dulu sisiknya dibuang, terutama untuk ikan yang besar.
Ø Setelah
disiangi, ikan dicuci sebersih-bersihnya. Pencucian dapat dilakukan dengan
tangan, kalau perlu disikat atau disemprot dengan air. Air pencuci sebaiknya
mempunyai mutu seperti air minum karena bila mutunya diragukan akan menjadi
sumber pengotoran serta pembusukan. Persediaan air bersih cukup banyak. Ikan
segar dapat juga dicuci dengan brine
encer. Pencelupnya ke dalam brine
akan membantu melarutkan sisa-sisa darah dan lendir, juga tekstur daging
menjadi lebih kompak dan rasanya lebih enak. Sebelum disiangi, jangan terlalu
lama ikan terendam dalam air hingga menjadi lembek. Penyiangan dan pencucian
bahan mentah harus diawasi baik-baik sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.
Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan besarnya kerugian-kerugian akibat
pembusukan dan kerusakan fisik. Sampah dan sisa-sisa isi perut segera
dibersihkan kembali, termasuk ruangan yang kotor merupakan sumber bakteri
pembusuk maupun bakteri-bakteri pathogen.
2.5.4. Penggaraman
Penggaraman
atau brining selain bermanfaat untuk
menghilangkan sisa-sisa darah dan lendir pada ikan atau memperbaiki tekstur
daging, juga untuk mempertahankan cita rasa asli ikan. Penggaraman dilakukan
secara langsung dengan menaburkan garam atau dengan merendam ikan dalam brine sebelum pengalengan (Moeljanto,
1992).
Dalam pembuatan brine harus dipakai garam murni atau
setidak-tidaknya kotoran dalam garam kurang dari 1% (misalnya garam-garam magnesium, garam
kalsium), tanpa kotoran-kotoran lain seperti debu atau lumpur. Kristal garamnya
harus halus, hal ini sesuai dengan pendapat Adawyah (2007). Bila kotoran lebih dari 1%, maka akan terjadi
perubahan-perubahan yang merugikan. Misalnya, adanya unsure besi (Fe) dalam
garam dapur menyebabkan brine menjadi berwarna (seharusnya jernih) dan
menimbulkan endapan dalam kaleng selama perebusan dan sterilisasi garam-garam Ca menyebabkan terjadinya endapan
putih sehingga daging ikan dalam kaleng mengeras; adanya Na-sulfat dan
Mg-sulfat yang berlebihan mengkibatkan rasa agak pahit.
2.5.5. Pengukusan Pendahuluan (Pre
cooking)
Apabila
daging dipanasi, maka sebagian air yang dikandungnya (yang berasal dari protein
daging) akan keluar. Pada ikan tuna
misalnya, air yang keluar kurang lebih 17,5% sedangkan pada sardine kurang
lebih 19-34%. Hal ini tergantung pada kandungan lemaknya. Apabila semua air
yang keluar itu tertampung di dalam kaleng (setelah kaleng ditutup), maka saus
atau mediumnya menjadi lebih proses sterilisasai saus minyak akan tercampur
minyak, maka setelah ikan harus dikukus dan air di dalam kaleng dibuang sebelum
kaleng ditutup. Caranya yaitu dengan meniriskan atau mengukus ikan sebelum
dipotong-potong (Moeljanto, 1992).
Lama
pengukusan (steaming atau pre cooking) dan ketinggian suhu juga
tidak boleh berlebihan. Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi rupa dan
tekstur daging dan terlalu banyak air yang keluar. Hal ini akan menurunkan
mutu. Keseimbangan antara lama pemasakan, tinggi suhu, mutu daging serta biaya
produksi hendaknya selalu dijaga. Waktu yang dibutuhkan untuk
pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4
jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan
100° C - 105° C.
2.5.6. Pemisahan Daging Merah dan Daging Putih
Dalam pemprosesan pengalengan ikan, hal
yang perlu diperhatikan adalah pemilihan daging saat sebelum pengisian dalam
kaleng. Ikan tuna dipilih daging yang putih dan dihilangkan daging merahnya.
Hal ini dilakukan karena untuk menghindari kemungkinan pencemaran daging yang
nantinya akan dikalengkan oleh Histamin. Histamin sendiri merupakan senyawa
nitrogen organik terlibat dalam respon imun lokal serta mengatur fungsi
fisiologis dalam usus dan juga bertindak sebagai pengirim reaksi dalam sistem kerja tubuh. Histidin memiliki khasiat farmakologi yang
hebat, antara lain dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang kuat dari
kapiler-kapiler, serentak dengan penciutan dari vena-vena dan arteri-arteri,
sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah (Effendi,
2008).
Pisau
yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus untuk memisahkan dan
membersihkan loin dari daging merah atau kehitaman. Seekor ikan dibelah menjadi
empat potong dengan tangan dan Kemudian dikukus. Akibat pengukusan itu, daging
ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan kepalanya
sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang menempel
dipisakan, kulit yang berwarna hitam kelabu (bila belum dibersihkan) disisir
dengan pisau sampai bersih (Moeljanto, 1992).
2.5.7. Pengisian Ikan di dalam Kaleng
Besarnya
ikan yang akan dimasukkan dalam kaleng disesuaikan dengan ukuran kaleng. Ikan
tuna berukuran besar biasanya dikemas dalam kaleng
berbentuk oval, sedangkan ikan dengan berukuran kecil dikemas dalam kaleng
berbentuk oval kecil. Pada waktu pengisian harus diperhatikan agar masih
terdapat ruangan kosong di atas bagian atas kaleng (head space),
sehingga pada waktu proses exhausting (penghampaan) masih ada tempat
untuk pengembangan isi kaleng. Isi yang terlalu penuh akan menyebabkan kaleng
menjadi cembung, yang meskipun tidak menyebabkan kebusukan tetapi akan
menurunkan mutunya karena disangka buruk, selain dari pada head space
berguna untuk merapatkan penutupan kaleng. Panjang
potongan ikan diperkirakan tepat dengan isi kaleng sehingga jarak permukaan
ikan setelah ditambah saus dengan bibir kaleng (head space) kira-kira setinggi 3-4,5 mm. (1/8-1/6 inci). Hal ini
untuk mendapatkan ruang hampa udara yang cukup. Sebelum dipakai, kaleng harus
bersih dan kering (Effendi, 2008).
Menurut
Murniyati dan Sunarman (2000), daging yang akan diisikan ditimbang dalam berat
tertentu, tergantung pada kalengnya. Untuk memenuhi berat tersebut,
kadang-kadang diperlukan potongan kecil
(serpihan, hancuran). Dengan demikian, isian kaleng dibagi menjadi tiga macam
yakni :
a. fancy, terdiri atas potongan-potongan
pokok.
b. standard, terdiri atas potongan pokok
ditambah serpihan.
c. flakes atau salad, terdiri atas serpihan-serpihan daging.
2.5.8. Penambahan Medium (saus)
Pemberian
saus sebaiknya dilakukan ketika saus masih panas. Hal ini penting, bila
penutupan kaleng memakai mesin penutup (can seamer) yang tidak dapat sekaligus
menghampakan udara. Dengan penambahan saus panas itu, akan didapat hampa udara
yang cukup baik. Dengan
adanya saus berarti tidak lagi terdapat rongga udara di antara potongan daging
ikan dan akan mengurangi kemungkinan berkaratnya kaleng bagian dalam.
Penambahan saus harus disesuaikan dengan keperluan (sesuai dengan standar yang
tertera pada label) dan tidak mengurangi besarnya ruang hampa udara (Moeljanto,
1992).
Medium yang ditambahkan
sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70 – 80°C, hal ini bedasarkan SNI
01-2712.2-1992. Pengisian media hingga batas head space atau
antara 6 – 10 % dari tinggi kaleng.
2.5.9. Penghampaan Udara
Apabila
wadah terbuat dari gelas, diperlukan penghampaan yang lebih tinggi untuk
menjaga kemungkinan terjadi penurunan tingkat kehampaan pada waktu penutupan,
sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992). Ada beberapa cara untuk menghasilkan
ruang hampa udara yaitu :
1. Kaleng
diisi dengan bahan makanan yang masih panas, lalu segera ditutup (sealed).
2. Kaleng
yang sudah terisi diletakkan di dalam ruang hampa udara dari mesin penutup
kaleng (vacuum sealing machine)
kemudian udara di dalam kaleng dipompa keluar (dengan pompa vakum), kemudian ditutup.
3. Bahan
makanan dicampur dengan saus panas (minyak, saus tomat) dan ruang di atasnya
diisi dengan udara panas atau uap, lalu dengan cepat ditutup.
4. Wadah
yang terbuat dari gelas atau kaleng diletakkan dalam air yang panas sekali
(selalu dipanasi) dengan masing-masing tutup diletakkan di atasnya, maka udara
akan terusir, kemudian wadah ditutup dengan cepat.
Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari
bahan di dalam wadah sebelum operasi penutupan. Di dalam wadah yang sudah
ditutup tidak diinginkan adanya oksigen, karena gas itu dapat bereaksi dengan
bahan pangan atau bagian dalam kaleng sehingga akan mempengaruhi mutu, nilai
gizi, dan umur simpan produk kalengan. Penghampaan udara juga berguna
untuk memberikan ruangan bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi
sehingga kerusakan wadah akibat tekanan produk dari dalam dapat dihindarkan,
juga berguna untuk menaikkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu
awal (Adawyah, 2007).
Hendaknya dipakai mesin penutup kaleng yang sekaligus
dapat menghasilkan hampa udara sehingga penambahan saus dapat dilakukan dalam
keadaan dingin, berdasarkan pendapat Moeljanto (1992). Keadaan hampa udara penting karena :
1. Mengurangi tekanan dalam kaleng selama
sterilisasi, dengan tujuan mengurangi kemungkinan kaleng menjadi penyok
(buckling).
2. Untuk jenis-jenis ikan tertentu
mengurangi kemungkinan terjadinya
perubahan warna daging ikan.
3. Mengurangi kemungkinan berkaranya
kaleng.
4. Mencegah penutud dan dasar kaleng
menggembung, bila ikan kaleng itu dibawa ke gunung (tekanan udara lebih rendah)
atau ke daerah yang sangat panas (udara dalam kaleng memuai).
Tingkat kehampaan yang baik adalah 10-12 cm Hg. Sebelum penutupan
kaleng mesin penutup kaleng harus disiapkan dengan baik supaya penutupan kaleng
tidak perlu diulangi lagi.
2.5.10. Penutupan Kaleng
Cara
menutup kaleng adalah dengan memasang tutup di atas badan kaleng, lalu melipat
ujungnya secara rapi (sealing). Dapat
juga dengan memutar tutupnya bila wadah terbuat dari kaleng atau gelas, seperti
aluran sekrup. Supaya rapat, biasanya dibagian dalam tutup diberi sebuah karet.
Penutupan kaleng dilakukan dengan mesin penutup (sealing machine). Ada juga yang disebut double seamer sebab proses penutupan kaleng terjadi dua kali (rol
pertama dan rol kedua). Apabila
digunakan kaleng sebagai wadah maka penutupan yang baik akan mencegah
terjadinya kebocoran dari satu kaleng yang dapat menimbulkan pengkaratan pada
kaleng lainnya. Penutupan wadah kaleng sering disebut dengan istilah double
seaming. Sedangkan mesin yang digunakan untuk penutupan double seamer machine,
jensinya bervariasidari yang digerakkan dengan tangan sampai yang otomatis.
Tetapi pada prinsipnya kerja mesin tersebut sama, yaitu menjalankan dua operasi
dasar. Operasi pertama berfungsi untuk membentuk atau menggulung bersama ujung
pinggir tutup kaleng dan badan kaleng, sedangkan operasi kedua berfungsi untuk
meratakan gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama (Moeljanto,
1992).
2.5.11. Pemanasan (Sterilisasi)
Ikan
dan makanan lain yang berkadar asam rendah, cara pengawetannya dimasukkan ke
dalam kaleng atau botol untuk diproses pada suhu 115º-120º C, yaitu dengan
memasukkannya ke dalam retort atau pressure cooker yang tahan tekanan 1-2 atm.
Suhu di dalam retort dinaikkan dengan memasukkan lebih banyak uap air. Sumber
uap untuk retort yang besar adalah boiler, sedangkan uap berasal dari air yang
sebelumnya dituangkan ke dalamnya (Moeljanto, 1992).
Waktu
untuk pemrosesan (processing time), bukan dihitung sejak kaleng dimasukkan ke
dalam retort sampai pengeluarannya, tetapi sejak suhu mencapai tinggi tertentu
hingga pemasukan uap retort dihentikan. Waktu yang digunakan untuk menaikkan
suhu dalam retort sampai selesai pemrosesan dan waktu sejak penghentian
pemasukan uap sampai suhu sama dengna udara luar, harus cukup lama. Sterilisasi atau lebih dikenal
dengan istilah processing adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan
makanan. Processing tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk
dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak,
yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang
diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan harus dilakukan pada suhu yang
cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi
sehingga membuat produk menjadi terlalu masak (Adawyah,
2007).
Proses panas harus cukup untuk dapat menonaktifkan
mikroba yang terdapat dalam makanan kaleng atau untuk mecapai sterilisasi
komersil. Pemanasan yang kurang cukup dapat menimbulkan resiko ekonomi dan
resiko kesehatan, karena sejumlah mikroba yang tahan panas akan menyebabkan
kerusakan pada produk, yang mengakibatkan kerugian. Di samping itu, jika bakteri
Clostridium botulinum tidak mati, akan menghasilkan toksin yang dapat
mengakibatkan kematian. Proses pemanasan makanan kaleng yang dianggap aman
adalah yang dapat menjamin bahwa makanan tersebut telah bebas dari
Clostridium botulinum (Adawyah,2007).
2.5.12. Pendinginan (cooling)
Setelah proses sterilisasi selesai,
kaleng-kaleng dikeluarkan dari retort dan segera didinginkan. Kalau tidak
didinginkan, kemungkinan besar akan terjadi over cooking yang menyebabkan
hangusnya daging.
Pendinginan
dapat juga dilakukan dengan memasukkan keranjang berisi kaleng panas ke dalam
bak air. Cara lain adalah dengan memasukkan air dingin ke dalam retort setelah
selesai pemprosesan. Sebelum dimasukkan kedalam air dingin, biasanya kaleng
dicuci dengan air sabun yang hangat (Moeljanto, 1992).
Wadah harus cepat didinginkan segera setelah proses
sterilisasi selesai, dengan tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan
suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir. Apabila
pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk cenderung terlalu masak
sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya. Selain itu, selama produk
berada pada suhu antara suhu ruang dan suhu proses, pertumbuhan spora bakteri
tahan panas akan distimulir. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan
bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan
mati (Adawyah, 2007).
2.5.13.
Pemasangan Label (labelling)
Setelah dingin kaleng diberi
label sesuai dengan keinginan produsen, pemberian label ditujukan untuk mengetahui
bahan yang digunakan dan untuk mengetahui kapan waktu produksi sehingga dapat
menentukan masa kadaluarsannya, dan tentunya dengan pemberian label produk akan
dikenal masyarakat (Adawyah, 2007).
Agar
hasil pengalengan (iklan), dapat laku dan tersebar luas pasarnya, maka perlu
pemasangan label yang direncanakan dengan baik dan dengan baik dan dengan cap
(merk) yang terkenal, besar sekali pengaruhnya. Bentuk gambar, susunan huruf
dan kombinasi warna harus menarik dan jelas tetapi
sederhana. Cap dan gambar sebaiknya jangan terlalu panjang dan rumit agar
pembeli mudah mengingatnya (Moeljanto, 1992).
2.5.14.
Penyimpanan
Suhu
penyimpaanan sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng. Suhu yang terlalu
tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang
dikandung oleh bahan, akibatnya akan
menyebabkan terjadi reaksi kimia. Selain itu, juga akan memacu
pertumbuhan bakteri yang pada saat proses sporannya masih dapat bertahan.
Untuk mencegah
timbulnya karat pada bagian luar kaleng atau tumbuhnya jamur, kelembapan ruang
penyimpnan hendaknya diatur serendah mungkin. Bahan yang menggunakan gelas jars
harus dihindari dari cahaya, karena dapat menurunkan mutu beberapa produk
makanan kaleng akibatnya dari perubahan warna dan rusaknya beberapa macam
vitamin (Adawyah, 2007).
2.6. Penerapan Sanitasi dan Higiene
Sanitasi merupakan bagian penting dalam
proses pengolahan pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat
didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau
mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan
penyakit tersebut. Secara ilmu, ilmu sanitasi merupakan penerapan dari
prinsip-prinsip yang akan membantu memperbaiki, mempertahankan, atau
mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia. Sanitasi adalah
upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertambah dan berkembang biaknya jasad
renik pembusuk dan pathogen dalam pangan, peralatan dan bangunan yang dapat
merusak pangan dan membahayakan manusia (Purnawijayanti, 2001).
Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan
melindungi kebersihan individu subyeknya. Misalnya mencuci tangan untuk
melindungi kebersihan tangan, cuci piring untuk melindungi kebersihan piring,
membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara
keseluruhan (Rina, 2007).
Hygiene didefenisikan sebagai usaha kesehatan masyarakat
yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
pencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut serta
membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin memelihara
kesehatan (Caiwardana, 2012).
Sanitasi
dan Higiene didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang
mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya
penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness atau foodborne
disease) serta mencakup usaha perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang
mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan (Rina, 2007).
2.6.1. Penerapan Sanitasi dan Higiene Bahan Baku
Bahan Baku
yang digunakan adalah tuna, dimana tuna tersebut dapat dengan mudah
terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari lingkungan hidupnya
(air laut) maupun selama transportasi dari laut sampai ke pabrik melakukan
penanganan selama proses pengolahan berlangsung untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang terdapat pada ikan Tuna ( Yunita, 2012). Akibat kecerobohan, tergesa-gesa atau
sembrono, sehingga ikan ada yang terluka, terkelupas kulit
atau sisiknya, terkena
benda tajam dan lain-lain. Luka apapun yang dialami ikan, akan mudah sekali
menyebabkan cepat terjadinya kebusukan, sebab memberikan peluang bagi
kuman-kuman menjalankan peranannya. Baik kuman dari luar, maupun yang sudah
hinggap di badan ikan.
2.6.2.
Penerapan Sanitasi dan Higiene
Bahan Pembantu
Bahan
tambahan yang digunakan adalah air dan es. Menurut Purnawijayanti (2001), Air
yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air
yang dapat diminum, diantaranya:
·
Bebas
dari bakteri berbahaya serta
bebas dari ketidak murnian kimiawi
·
Bersih
dan jernih
·
Tidak
berwarna dan tidak berbau
·
Tidak
mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)
·
Menarik
dan menyenangkan untuk diminum
Air tanah umumnya lebih bersih dari
pada air permukaan, namun tidak dapat dijamin bahwa semua jenis air tanah aman
untuk dikonsumsi atau digunakan dalam pengolahan makanan. Air permukaan, karena
letaknya pada tempat relatif terbuka, cenderung lebih mudah terkontaminasi
atau tercemar, baik
secara fisik, kimiawi, mikrobiologis, maupun radiologis. Biasanya air permukaan
memerlukan tindakan sanitasi spesifik sebelum digunakan sebagai air minum
ataupun air untuk keperluan pengolahan makanan
(Purnawijayanti, 2001).
Ikan yang dijual dalam keadaan segar
selalu membutuhkan suhu yang sehingga mutu ikan yang dijual dapat
dipertahankan. Es merupakan cara yang paling umum digunakan, karena selain
murah, es juga mudah didapatkan. Es yang dipergunakan harus berasal dari air
yang bersih dan kualitasnya terjamin. Untuk hasil yang lebih baik, es yang
digunakan harus berasal dari air yang siap minum. Sebaiknya es yang digunakan untuk menjaga suu ikan
sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu, sehingga proses perpindahan suhu
terjadi secara lebih efektif (Imesh, 2012).
2.6.3. Penerapan
Sanitasi dan Higiene Peralatan
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara sanitasi dan higiene pada
peralatan adalah sebagai berikut :
·
Tempat
pencucian ikan dikosongkan jika tidak digunakan dan dibersihkan dengan
desinfektan yang cocok.
·
Semua
wadah yang kontak langsung dengan ikan harus dilapisi dengan bahan yang mudah
dibersihkan.
Frekuensi
pencucian dari alat dapur tergantung pada jenis alat yang digunakan. Alat saji
dan alat masak harus dicuci, dibilas dan
disanitasi segera setelah digunakan. Permukaan
peralatan yang secara langsung kontak dengan makanan, seperti pemanggang atau
oven dibersihkan paling sedikit satu kali sehari. Peralatan bantu yang tidak
secara langsung bersentuhan dengan makanan harus dibersihkan sesuai kebutuhan
untuk mencegah terjadinya akumulasi debu, serpihan bahan atau produk makanan,
serta kotoran lain (Purnawijayanti, 2001).
2.6.4. Penerapan Sanitasi dan Higiene Ruang Proses
Adapun
penerapan sanitasi dan
higiene pada ruang proses adalah sebagai berikut, hal ini
berdasarkan pendapat Wibowo
(2003) :
·
Lantai
ruang pengolahan dan fasillitas lain hendaknya disemen dengan bahan yang tidak
berbahaya dan mudah dibersihkan.
·
Saluran
pembuangan harus selalu lancar diperiksa setiap hari dan dibersihkan.
·
Lantai,
ruang pengolahan, dan peralatan dibersihkan setiap hari atau setelah akhir
proses.
·
Membatasi
kesempatan bagi lalat, serangga lain, dan rodensia untuk masuk ke ruang
pengolahan, misalnya dengan memasang kawat kasa pada pintu masuk dan jendela,
memasang jeruji baja pada saluran pembuangan air, menutup tempat sampah dan
sebagainya.
·
Atap
tidak boleh bocor, cukup landai dan tidak menjadi sarang serangga dan tikus.
Langit–langit harus senantiasa bersih dan dirawat bebas dari retakan dan
lubang–lubang.
·
Permukaan
dinding dibuat dari bahan yang kuat, halus, kering dan tidak menyerap air serta
mudah dibersihkan, sehingga tidak mudah ditumbuhi oleh jamur atau kapang yang
akan mengotori dinding dan tempat berkumpulnya kuman.
2.6.5. Penerapan Sanitasi dan Higiene Karyawan
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
untuk menjaga sanitasi dan higiene karyawan dijelaskan oleh Wibowo (2003)
sebagai berikut:
·
Selalu
menjaga kebersihan badan.
·
Membiasakan
diri bekerja dengan baik, disiplin, dan mengikuti prosedur yang berlaku.
·
Mengenakan
pakaian kerja/celemek
lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan dan sepatu kerja. Pakaian dan
perlengkapan hanya dipakai untuk bekerja.
·
Selalu
mencuci tangan
dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan sesudah menangani bahan
mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet.
Ditambahkan
pula oleh Purnawijayati (2001), tentang
sanitasi dan higiene karyawan,
diantaranya :
·
Tidak
merokok, makan, atau mengunyah selama melakukan aktivitas penanganan makanan.
·
Tidak
meludah atau membuang ingus di dalam daerah pengolahan.
·
Selalu
menutup mulut dan hidung pada waktu batuk ataupun bersin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar