Selasa, 13 Mei 2014

Pengolahan Modern

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna
2.1.1. Deskripsi Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk dalam keluaraga Scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat, bertubuh seperti cerutu memiliki dua sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan ini juga termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis cepat besar dan sebagin besar memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh hipural. Sirip-sirip punggung dubur, perut dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh (Saanin, 1986).
Menurut Ahira (2010), Ikan Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari family Scombridae, terutama genus thunnus. Ikan ini adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam), tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang.
2.1.2. Klasifikasi Ikan Tuna
Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan  pinggir berwarna gelap.
Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan Tuna adalah sebagai berikut :
Phylum            : Chordata
Sub phylum     : Vertebrata Thunnus
Class               : Teleostei
Sub Class        : Actinopterygii
Ordo                : Perciformes
Sub ordo         : Scombroidae
Genus                         : Thunnus
Species           : Thunnus alalunga (Albacore)
  Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
  Thunnus macoyii
(Southtern Bluefin Tuna)
  Thunnus obesus
(Big eye Tuna)
Tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah tertangkap kecuali setelah ditangani dengan baik, hal ini berdasarkan pendapat Murniyati dan Sunarman (2000).  Suhu yang tinggi mempercepat dan memperpendek rigor mortis dan  mengantarkannya ke proses autolysis  dan pembusukan oleh bakteri yang berjalan sangat cepat, karena tuna ditangkap dari populasi liar, nelayan tidak dapat leluasa memilih ikan dengan kondisi biologis tertentu misalnya yang berkadar lemak tinggi.
2.1.3. Kandungan Gizi Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi yang banyak diminati, baik di pasar lokal maupun internasional. Ini dikarenakan selain rasanya yang lezat juga kandungan zat gizinya yang mampu menyehatkan orang dewasa dan mencerdaskan anak-anak. Dilihat dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang sangat luar biasa. Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 22 g dan 13 g (Efendi, 2008).
Sebagai salah satu komoditas laut, ikan tuna juga kaya akan asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti ikan tuna, adalah 28 kali lebih banyak daripada ikan air tawar. Asam lemak omega-3 mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel saraf, termasuk sel otak, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan terutama pada anak-anak. Ikan tuna juga kaya berbagai mineral penting yang esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan tuna mencapai 28 kali kandungan iodium pada ikan air tawar. Konsumsi 100 gram ikan tuna sirip biru cukup untuk memenuhi 43,6 persen kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Ikan tuna juga merupakan sumber yang baik untuk vitamin B6 dan asam folat (Efendi, 2008). Namun di samping ikan tuna memiliki protein yang tinggi, ikan tuna juga mempunyai kelemahan karena mengandung histidin yang dapat berubah menjadi histamin apabila suhu dalam proses penanganan melebihi 5° C, oleh karena itu dalam proses penanganan harus menjaga suhu agar tetap di bawah 5° C. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna  dapat  dilihat  dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging
Jenis Ikan Tuna
Komposisi
Bluerin
Skip Jack
Yellow Fin
Satuan
Energi
Protein
Lemak
Abu
Kalsium
Fosfor
Besi
Sodium
Retinol
Thiamin
Riboflavin
Niasin
121,0
22,6
2,7
1,2
8,0
190,0
2,7
90,0
10,0
0,1
0,06
10,0
131,0
26,2
2,1
1,3
8,0
220,0
4,0
52,0
10,0
0,03
0,15
18,0
105,0
24,1
0,1
1,2
9,0
220,0
1,1
78,0
5,0
0,1
0,1
12,0
Kal
g
g
g
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
(Sumber : Maghfiroh, 2000)

2.2. Pengemasan Hermetis
            Pengemasan hermetic merupakan pengemasan yang dilakukan dengan wadah yang tertutup rapat dan dilakukan sterilisasi dengan panas.
Menurut Desrosier (1988), pengemasan hermetis dibagi menjadi dua yaitu : kemasan gelas dan kemasan kaleng.
a.   Kemasan gelas yaitu pengemasan yang menggunakan gelas sebagai wadah untuk mengemas suatu produk.
b.   Kemasan kaleng yaitu pengemasan yang menggunakan wadah kaleng untuk mengemas suatu produk.
Kemasan hermetis harus memiliki persyaratan antara lain :
Ø Tidak mudah dilalui oleh gas.
Ø Tahan terhadap pemanasan dan sterilisasi.
Ø Tidak bersifat transparan seperti kertas dan plastik.

2.3. Pengalengan
2.3.1. Pengertian Pengalengan
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat dan disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan cara yang paling umum dilakukan karena bebas dari kebusukan serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik (Winarno, 1994). Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet ikan kalengan adalah :
1.    Sterilisasi yang mematikan seluruh bakteri dalam isi kaleng.
2.    Kaleng yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan di luar.
Murniyati dan Sunarman (2000), menambahkan bahan mentah yang dipakai terutama adalah ikan segara atau ikan basah. Selain itu, pengalengan juga dapat dilaukan pada ikan beku dan ikan asap. Bahan mentah untuk pengalengan harus dipilih yang betul-betul baik. Ikan yang kurang segar akan menimbulkan banyak kesulitan dalam bahan  pengolahan dan mengurangi daya awetnya.
Pengawetan makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara pengolahan untuk menyelamatkan bahan makanan dari proses pembusukan. Dalam proses pengalengan, ikan dimasukkan ke dalam suatu wadah (container) yang ditutup rapat supaya udara dan zat-zat atau organisme perusak atau pembusuk tidak dapat masuk.  Kemudian wadah dipanasi sampai suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula guna mematikan mikroorganisme seperti jamur, ragi, bakteri, enzim termasuk spora yang terbentuk. Setidak-tidaknya mikroorganisme ini dihambat perkembangannya (Moeljanto, 1992).
Daya awet makanan kaleng sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan pengan, jenis wadah, proses pengalengan yang dilakukan dan kondisi tempat penyimpanannya tetapi jika proses pengolahannya sempurna maka daya awet  produk yang dikalengkan, daya awetnya lama. Kerusakan makanan kaleng pada umumnya terjadi karena perubahan tekstur dan cita rasa dibandingkan karena mikroorganisme (Adawyah, 2007).
2.3.2. Prinsip Pengalengan
Pemusnahan mikroorgnaisme dengan pemanasan dalam pengalengan ikan pada prinsipnya menyebabkan terjadinya denaturasi protein, serta menonaktifkan enzim yang membantu dalam metabolisme, hal ini berdasarkan pendapat Adawyah (2007). Penerapan panas dapat bermacam-macam tergantung dari jenis mikroorganismenya, fase mikroorganisme dan kondisi lingkungan spora bakteri. Semakin rendah suhu yang diberikan maka semakin banyak waktu yang diperlukan selama pemanasan. Panas yang diberikan dengan suhu 100°C sampai 120°C dan tekanan 0,8 atmosfer sampai 0,95 atmosfer serta memerlukan waktu 80 menit sampai 95 menit tergantung jenis ikan dan ukuran kaleng sehingga dapat memusnahkan sebagian sel vegetatif, sebagian besar atau seluruh sel.
2.3.3. Medium Pengalengan
            Didalam pengalengan terdapat medium yang digunakan sebagai medium untuk mengurangi resistensi terhadap kaleng dan organism pembusuk.
Medium yang dapat digunakan antara lain :
a.   Medium asam
Pada medium asam ini dapat menggunakan sari tomat dengan asam sitrat, laktat atau asetat untuk mengubah resistensi Bacillus thermoacidurans terhadap panas.
b.   Medium Gula
Beberapa peneliti menduga bahwa larutan gula dapat menaikkan resistensi spora dengan terjadinya dehidrasi parsial protoplasma sel, melindungi protein dari koagulasi.
c.   Medium garam
Garam dalam larutan (sampai empat persen) dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan tetapi kadar yang lebih tinggi  (8 persen atau lebih) menurunkan resistensi spora terhadap pemanasan.
d.   Medium Lemak
Lemak atau minyak mempunyai daya menghambat dalam usaha mematikan spora bakteri dengan pemanasan lembab serta berperan sebagai agensia penyedap dan memiliki daya mengawetkan.
e.   Medium cabai pedas
Cabai merupakan buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Cabai mengandung senyawa aktif berupa Capsaicin. Cabai merupakan zat perasa alami. Cabai atau cabe merah adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat antikanker (Kilham 2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980). Cabai memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung.

2.4. Mutu dan kemunduran mutu tuna kaleng
Dalam upaya untuk menjaga mutu produk tuna, pemerintah telah mengembangkan standar mutu tuna kaleng dalam SNI 01–2712–1992. Ikan tuna dalam kaleng adalah potongan daging putih ikan tuna yang telah mengalami pemasakan pendahuluan dan dikalengkan dalam medium minyak atau air garam (brine) ( Dewan Standarisasi Nasional, 1992). Syarat mutu tuna dalam kaleng menurut SNI 01-2712-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.








            Tabel 2. Syarat mutu ikan tuna dalam kaleng
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Mutu
Organoleptik

7
Mikrobiologi
1) TPC anaerob
2) TPC aerob

per gram
per gram

0
0
Kimia
1) Stanum (Sn)*)
2) Plumbum (Pb) *)
3) Arsen (As) *)
4) Mercuri (Hg) *)
5) Histamin

ppm
ppm
ppm
ppm
mg/100 g

250
5
1
0,5
20
Fisika
1) Fisik kaleng
2) Bobot tuntas


%

Baik
70
Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1992)
*) Bila direkomendasikan

2.5. Prosedur Pengalengan Ikan Tuna
2.5.1.  Persiapan Wadah Kaleng
Di dalam pengalengan suatu produk penting diperhatikan untuk selalu menggunakan jenis kaleng yang sesuai produk, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perubahan warna. Kaleng-kaleng yang akan digunakan hendaknya diperiksa solderannya, adanya karat atau cacat lainnya, misalnya lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang telah cacat hendaknya jangan digunakan.
Kaleng yang baik kemudian dicuci dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung plastik atau dipak dalam karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air (Adawyah, 2007).
Jenis kaleng yang digunakan untuk pengalengan ikan tuna harus bersifat tahan terhadap korosi, terutama pada bagian dalam (yang kontak dengan produk). Salah satu cara untuk mencegah terjadinya korosi pada kaleng adalah dengan melapisi kaleng dengan enamel. Enamel sendiri merupakan bahan organic yang dilapiskan pada kaleng untuk melindungi dari korosi dan juga untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontak antara bahan makanan dengan kaleng yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada produk pangan. Enamel yang biasa digunakan pada kaleng ikan adalah jenis non metal, seperti fenolik dan epoksi fenolik (Choles,dkk, 2003).
2.5.2. Penerimaan Bahan Baku
Dalam proses pengalengan, kesegaran ikan memegang peranan sangat penting. Sebab, bila ikan sudah tidak segar lagi, maka mutu ikan kaleng pun menurun. Bau ikan yang busuk atau tekstur ikan yang mulai lembek tidak dapat dihilangkan sebab pada pengukusan pendahuluan (pre cooking) yang seharusnya menyebabkan daging ikan makin kompak, malahan membuat daging ikan yang mulai busuk menjadi rapuh. Oleh karena itu tempat, cara dan lama penyimpanan bahan mentah juga mempengaruhi mutu produk akhir. Sebab, dari cara-cara penanganan permulaan inilah mutu bahan mentah dapat ditentukan. Jadi, meskipun pada saat disimpan dalam palka ikan masih sangat segar tetapi bila penanganan dan penyimpanannya sembarangan, maka mutu produk akhir pasti tidak memenuhi syarat atau standart mutu ikan kaleng (Moeljanto, 1992).
Menurut SNI 01-2712.2 (1992), setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5°C. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25°C. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0°C).
2.5.3. Pencucian dan Penyiangan
            Pencucian  dan penyiangan Ikan Tuna pada proses pengalengan antara lain, hal ini berdasarkan pendapat Moeljanto (1992) :
Ø Isi perut dan bagian-bagian yang tidak dikalengkan (kepala, sirip-sirip, ekor, dan daging bagian perut) untuk jenis ikan tertentu seperti tuna dipisahkan.
Ø Pada pengalengan ikan-ikan besar seperti tuna, duri dan tulang-tulangnya harus dibuang. Kepala dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan. Untuk ikan yang bersisik lebih dulu sisiknya dibuang, terutama untuk ikan yang besar.
Ø Setelah disiangi, ikan dicuci sebersih-bersihnya. Pencucian dapat dilakukan dengan tangan, kalau perlu disikat atau disemprot dengan air. Air pencuci sebaiknya mempunyai mutu seperti air minum karena bila mutunya diragukan akan menjadi sumber pengotoran serta pembusukan. Persediaan air bersih cukup banyak. Ikan segar dapat juga dicuci dengan brine encer. Pencelupnya ke dalam brine akan membantu melarutkan sisa-sisa darah dan lendir, juga tekstur daging menjadi lebih kompak dan rasanya lebih enak. Sebelum disiangi, jangan terlalu lama ikan terendam dalam air hingga menjadi lembek. Penyiangan dan pencucian bahan mentah harus diawasi baik-baik sesuai dengan syarat-syarat kesehatan. Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan besarnya kerugian-kerugian akibat pembusukan dan kerusakan fisik. Sampah dan sisa-sisa isi perut segera dibersihkan kembali, termasuk ruangan yang kotor merupakan sumber bakteri pembusuk maupun bakteri-bakteri pathogen.
2.5.4. Penggaraman
Penggaraman atau brining selain bermanfaat untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan lendir pada ikan atau memperbaiki tekstur daging, juga untuk mempertahankan cita rasa asli ikan. Penggaraman dilakukan secara langsung dengan menaburkan garam atau dengan merendam ikan dalam brine sebelum pengalengan (Moeljanto, 1992).
Dalam pembuatan brine harus dipakai garam murni atau setidak-tidaknya kotoran dalam garam kurang dari 1% (misalnya garam-garam magnesium, garam kalsium), tanpa kotoran-kotoran lain seperti debu atau lumpur. Kristal garamnya harus halus, hal ini sesuai dengan pendapat Adawyah (2007).  Bila kotoran lebih dari 1%, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang merugikan. Misalnya, adanya unsure besi (Fe) dalam garam dapur menyebabkan brine menjadi berwarna (seharusnya jernih) dan menimbulkan endapan dalam kaleng selama perebusan dan sterilisasi garam-garam Ca menyebabkan terjadinya endapan putih sehingga daging ikan dalam kaleng mengeras; adanya Na-sulfat dan Mg-sulfat yang berlebihan mengkibatkan rasa agak pahit.
2.5.5. Pengukusan Pendahuluan (Pre cooking)
Apabila daging dipanasi, maka sebagian air yang dikandungnya (yang berasal dari protein daging) akan  keluar. Pada ikan tuna misalnya, air yang keluar kurang lebih 17,5% sedangkan pada sardine kurang lebih 19-34%. Hal ini tergantung pada kandungan lemaknya. Apabila semua air yang keluar itu tertampung di dalam kaleng (setelah kaleng ditutup), maka saus atau mediumnya menjadi lebih proses sterilisasai saus minyak akan tercampur minyak, maka setelah ikan harus dikukus dan air di dalam kaleng dibuang sebelum kaleng ditutup. Caranya yaitu dengan meniriskan atau mengukus ikan sebelum dipotong-potong (Moeljanto, 1992).
Lama pengukusan (steaming atau pre cooking) dan ketinggian suhu juga tidak boleh berlebihan. Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi rupa dan tekstur daging dan terlalu banyak air yang keluar. Hal ini akan menurunkan mutu. Keseimbangan antara lama pemasakan, tinggi suhu, mutu daging serta biaya produksi hendaknya selalu dijaga. Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100° C - 105° C.
2.5.6. Pemisahan Daging Merah dan Daging Putih
Dalam pemprosesan pengalengan ikan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan daging saat sebelum pengisian dalam kaleng. Ikan tuna dipilih daging yang putih dan dihilangkan daging merahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari kemungkinan pencemaran daging yang nantinya akan dikalengkan oleh Histamin. Histamin sendiri merupakan senyawa nitrogen organik terlibat dalam respon imun lokal serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan juga bertindak sebagai pengirim reaksi dalam sistem kerja tubuh. Histidin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan penciutan dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah (Effendi, 2008).
Pisau yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus untuk memisahkan dan membersihkan loin dari daging merah atau kehitaman. Seekor ikan dibelah menjadi empat potong dengan tangan dan Kemudian dikukus. Akibat pengukusan itu, daging ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan kepalanya sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang menempel dipisakan, kulit yang berwarna hitam kelabu (bila belum dibersihkan) disisir dengan pisau sampai bersih (Moeljanto, 1992).
2.5.7. Pengisian Ikan di dalam Kaleng
Besarnya ikan yang akan dimasukkan dalam kaleng disesuaikan dengan ukuran kaleng. Ikan tuna berukuran besar biasanya dikemas dalam kaleng berbentuk oval, sedangkan ikan dengan berukuran kecil dikemas dalam kaleng berbentuk oval kecil. Pada waktu pengisian harus diperhatikan agar masih terdapat ruangan kosong di atas bagian atas kaleng (head space), sehingga pada waktu proses exhausting (penghampaan) masih ada tempat untuk pengembangan isi kaleng. Isi yang terlalu penuh akan menyebabkan kaleng menjadi cembung, yang meskipun tidak menyebabkan kebusukan tetapi akan menurunkan mutunya karena disangka buruk, selain dari pada head space berguna untuk merapatkan penutupan kaleng. Panjang potongan ikan diperkirakan tepat dengan isi kaleng sehingga jarak permukaan ikan setelah ditambah saus dengan bibir kaleng (head space) kira-kira setinggi 3-4,5 mm. (1/8-1/6 inci). Hal ini untuk mendapatkan ruang hampa udara yang cukup. Sebelum dipakai, kaleng harus bersih dan kering (Effendi, 2008).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), daging yang akan diisikan ditimbang dalam berat tertentu, tergantung pada kalengnya. Untuk memenuhi berat tersebut, kadang-kadang  diperlukan potongan kecil (serpihan, hancuran). Dengan demikian, isian kaleng dibagi menjadi tiga macam yakni :
a.   fancy, terdiri atas potongan-potongan pokok.
b.   standard, terdiri atas potongan pokok ditambah serpihan.
c.   flakes atau salad, terdiri atas serpihan-serpihan daging.
2.5.8. Penambahan Medium (saus)
Pemberian saus sebaiknya dilakukan ketika saus masih panas. Hal ini penting, bila penutupan kaleng memakai mesin penutup (can seamer) yang tidak dapat sekaligus menghampakan udara. Dengan penambahan saus panas itu, akan didapat hampa udara yang cukup baik. Dengan adanya saus berarti tidak lagi terdapat rongga udara di antara potongan daging ikan dan akan mengurangi kemungkinan berkaratnya kaleng bagian dalam. Penambahan saus harus disesuaikan dengan keperluan (sesuai dengan standar yang tertera pada label) dan tidak mengurangi besarnya ruang hampa udara (Moeljanto, 1992).
Medium yang ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu medium antara 70 – 80°C, hal ini bedasarkan SNI 01-2712.2-1992.  Pengisian media hingga batas head space atau antara 6 – 10 % dari tinggi kaleng.
2.5.9. Penghampaan Udara
Apabila wadah terbuat dari gelas, diperlukan penghampaan yang lebih tinggi untuk menjaga kemungkinan terjadi penurunan tingkat kehampaan pada waktu penutupan, sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992). Ada beberapa cara untuk menghasilkan ruang hampa udara yaitu :
1.    Kaleng diisi dengan bahan makanan yang masih panas, lalu segera ditutup (sealed).
2.    Kaleng yang sudah terisi diletakkan di dalam ruang hampa udara dari mesin penutup kaleng (vacuum sealing machine) kemudian udara di dalam kaleng dipompa keluar (dengan pompa vakum), kemudian ditutup.
3.    Bahan makanan dicampur dengan saus panas (minyak, saus tomat) dan ruang di atasnya diisi dengan udara panas atau uap, lalu dengan cepat ditutup.
4.    Wadah yang terbuat dari gelas atau kaleng diletakkan dalam air yang panas sekali (selalu dipanasi) dengan masing-masing tutup diletakkan di atasnya, maka udara akan terusir, kemudian wadah ditutup dengan cepat.
Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam wadah sebelum operasi penutupan. Di dalam wadah yang sudah ditutup tidak diinginkan adanya oksigen, karena gas itu dapat bereaksi dengan bahan pangan atau bagian dalam kaleng sehingga akan mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Penghampaan udara juga berguna untuk memberikan ruangan bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan produk dari dalam dapat dihindarkan, juga berguna untuk menaikkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (Adawyah, 2007).
Hendaknya dipakai mesin penutup kaleng yang sekaligus dapat menghasilkan hampa udara sehingga penambahan saus dapat dilakukan dalam keadaan dingin, berdasarkan pendapat Moeljanto (1992). Keadaan hampa udara penting karena :
1.  Mengurangi tekanan dalam kaleng selama sterilisasi, dengan tujuan mengurangi kemungkinan kaleng menjadi penyok (buckling).
2.  Untuk jenis-jenis ikan tertentu mengurangi kemungkinan  terjadinya perubahan warna daging ikan.
3.  Mengurangi kemungkinan berkaranya kaleng.
4.  Mencegah penutud dan dasar kaleng menggembung, bila ikan kaleng itu dibawa ke gunung (tekanan udara lebih rendah) atau ke daerah yang sangat panas (udara dalam kaleng memuai).
Tingkat kehampaan yang baik adalah 10-12 cm Hg. Sebelum penutupan kaleng mesin penutup kaleng harus disiapkan dengan baik supaya penutupan kaleng tidak perlu diulangi lagi.
2.5.10.  Penutupan Kaleng
Cara menutup kaleng adalah dengan memasang tutup di atas badan kaleng, lalu melipat ujungnya secara rapi (sealing). Dapat juga dengan memutar tutupnya bila wadah terbuat dari kaleng atau gelas, seperti aluran sekrup. Supaya rapat, biasanya dibagian dalam tutup diberi sebuah karet. Penutupan kaleng dilakukan dengan mesin penutup (sealing machine). Ada juga yang disebut double seamer sebab proses penutupan kaleng terjadi dua kali (rol pertama dan rol kedua). Apabila digunakan kaleng sebagai wadah maka penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran dari satu kaleng yang dapat menimbulkan pengkaratan pada kaleng lainnya. Penutupan wadah kaleng sering disebut dengan istilah double seaming. Sedangkan mesin yang digunakan untuk penutupan double seamer machine, jensinya bervariasidari yang digerakkan dengan tangan sampai yang otomatis. Tetapi pada prinsipnya kerja mesin tersebut sama, yaitu menjalankan dua operasi dasar. Operasi pertama berfungsi untuk membentuk atau menggulung bersama ujung pinggir tutup kaleng dan badan kaleng, sedangkan operasi kedua berfungsi untuk meratakan gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama (Moeljanto, 1992).
2.5.11. Pemanasan (Sterilisasi)
Ikan dan makanan lain yang berkadar asam rendah, cara pengawetannya dimasukkan ke dalam kaleng atau botol untuk diproses pada suhu 115º-120º C, yaitu dengan memasukkannya ke dalam retort atau pressure cooker yang tahan tekanan 1-2 atm. Suhu di dalam retort dinaikkan dengan memasukkan lebih banyak uap air. Sumber uap untuk retort yang besar adalah boiler, sedangkan uap berasal dari air yang sebelumnya dituangkan ke dalamnya (Moeljanto, 1992).
Waktu untuk pemrosesan (processing time), bukan dihitung sejak kaleng dimasukkan ke dalam retort sampai pengeluarannya, tetapi sejak suhu mencapai tinggi tertentu hingga pemasukan uap retort dihentikan. Waktu yang digunakan untuk menaikkan suhu dalam retort sampai selesai pemrosesan dan waktu sejak penghentian pemasukan uap sampai suhu sama dengna udara luar, harus cukup lama. Sterilisasi atau lebih dikenal dengan istilah processing adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan makanan. Processing tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak (Adawyah, 2007).
Proses panas harus cukup untuk dapat menonaktifkan mikroba yang terdapat dalam makanan kaleng atau untuk mecapai sterilisasi komersil. Pemanasan yang kurang cukup dapat menimbulkan resiko ekonomi dan resiko kesehatan, karena sejumlah mikroba yang tahan panas akan menyebabkan kerusakan pada produk, yang mengakibatkan kerugian. Di samping itu, jika bakteri Clostridium botulinum tidak mati, akan menghasilkan toksin yang dapat mengakibatkan kematian. Proses pemanasan makanan kaleng yang dianggap aman adalah yang dapat menjamin bahwa makanan tersebut telah bebas dari Clostridium botulinum (Adawyah,2007).


2.5.12. Pendinginan (cooling)
Setelah proses sterilisasi selesai, kaleng-kaleng dikeluarkan dari retort dan segera didinginkan. Kalau tidak didinginkan, kemungkinan besar akan terjadi over cooking yang menyebabkan hangusnya daging.
Pendinginan dapat juga dilakukan dengan memasukkan keranjang berisi kaleng panas ke dalam bak air. Cara lain adalah dengan memasukkan air dingin ke dalam retort setelah selesai pemprosesan. Sebelum dimasukkan kedalam air dingin, biasanya kaleng dicuci dengan air sabun yang hangat (Moeljanto, 1992).
Wadah harus cepat didinginkan segera setelah proses sterilisasi selesai, dengan tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir. Apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk cenderung terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya. Selain itu, selama produk berada pada suhu antara suhu ruang dan suhu proses, pertumbuhan spora bakteri tahan panas akan distimulir. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan mati (Adawyah, 2007).
2.5.13. Pemasangan Label (labelling)
Setelah dingin kaleng diberi label sesuai dengan keinginan produsen, pemberian label ditujukan untuk mengetahui bahan yang digunakan dan untuk mengetahui kapan waktu produksi sehingga dapat menentukan masa kadaluarsannya, dan tentunya dengan pemberian label produk akan dikenal masyarakat (Adawyah, 2007).
Agar hasil pengalengan (iklan), dapat laku dan tersebar luas pasarnya, maka perlu pemasangan label yang direncanakan dengan baik dan dengan baik dan dengan cap (merk) yang terkenal, besar sekali pengaruhnya. Bentuk gambar, susunan huruf dan kombinasi warna harus menarik dan jelas tetapi sederhana. Cap dan gambar sebaiknya jangan terlalu panjang dan rumit agar pembeli mudah mengingatnya (Moeljanto, 1992).
2.5.14. Penyimpanan
Suhu penyimpaanan sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang dikandung oleh bahan, akibatnya akan  menyebabkan terjadi reaksi kimia. Selain itu, juga akan memacu pertumbuhan bakteri yang pada saat proses sporannya masih dapat bertahan.
Untuk mencegah timbulnya karat pada bagian luar kaleng atau tumbuhnya jamur, kelembapan ruang penyimpnan hendaknya diatur serendah mungkin. Bahan yang menggunakan gelas jars harus dihindari dari cahaya, karena dapat menurunkan mutu beberapa produk makanan kaleng akibatnya dari perubahan warna dan rusaknya beberapa macam vitamin (Adawyah, 2007).

2.6. Penerapan Sanitasi dan Higiene
            Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses pengolahan pangan yang harus dilaksanakan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut. Secara ilmu, ilmu sanitasi merupakan penerapan dari prinsip-prinsip yang akan membantu memperbaiki, mempertahankan, atau mengembalikan kesehatan yang baik pada manusia. Sanitasi adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertambah dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam pangan, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia (Purnawijayanti, 2001).
            Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu subyeknya. Misalnya mencuci tangan untuk melindungi kebersihan tangan, cuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Rina, 2007). 
Hygiene didefenisikan sebagai usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya pencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin memelihara kesehatan (Caiwardana, 2012).
Sanitasi dan Higiene didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness atau foodborne disease) serta mencakup usaha perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan (Rina, 2007).
2.6.1. Penerapan Sanitasi dan Higiene Bahan Baku
Bahan Baku yang digunakan adalah tuna, dimana tuna tersebut dapat dengan mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari lingkungan hidupnya (air laut) maupun selama transportasi dari laut sampai ke pabrik melakukan penanganan selama proses pengolahan berlangsung untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang terdapat pada ikan Tuna ( Yunita, 2012). Akibat kecerobohan, tergesa-gesa atau sembrono, sehingga ikan ada yang terluka, terkelupas kulit atau sisiknya, terkena benda tajam dan lain-lain. Luka apapun yang dialami ikan, akan mudah sekali menyebabkan cepat terjadinya kebusukan, sebab memberikan peluang bagi kuman-kuman menjalankan peranannya. Baik kuman dari luar, maupun yang sudah hinggap di badan ikan.
2.6.2. Penerapan Sanitasi dan Higiene Bahan Pembantu
Bahan tambahan yang digunakan adalah air dan es. Menurut Purnawijayanti (2001), Air yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air yang dapat diminum, diantaranya:
·      Bebas dari bakteri berbahaya serta bebas dari ketidak murnian kimiawi
·      Bersih dan jernih
·      Tidak berwarna dan tidak berbau
·      Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)
·      Menarik dan menyenangkan untuk diminum
Air tanah umumnya lebih bersih dari pada air permukaan, namun tidak dapat dijamin bahwa semua jenis air tanah aman untuk dikonsumsi atau digunakan dalam pengolahan makanan. Air permukaan, karena letaknya pada tempat relatif terbuka, cenderung lebih mudah terkontaminasi atau tercemar, baik secara fisik, kimiawi, mikrobiologis, maupun radiologis. Biasanya air permukaan memerlukan tindakan sanitasi spesifik sebelum digunakan sebagai air minum ataupun air untuk keperluan pengolahan makanan (Purnawijayanti, 2001).
Ikan yang dijual dalam keadaan segar selalu membutuhkan suhu yang sehingga mutu ikan yang dijual dapat dipertahankan. Es merupakan cara yang paling umum digunakan, karena selain murah, es juga mudah didapatkan. Es yang dipergunakan harus berasal dari air yang bersih dan kualitasnya terjamin. Untuk hasil yang lebih baik, es yang digunakan harus berasal dari air yang siap minum. Sebaiknya es yang digunakan untuk menjaga suu ikan sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu, sehingga proses perpindahan suhu terjadi secara lebih efektif (Imesh, 2012).
2.6.3. Penerapan Sanitasi dan Higiene Peralatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara sanitasi dan higiene pada peralatan adalah sebagai berikut :
·         Tempat pencucian ikan dikosongkan jika tidak digunakan dan dibersihkan dengan desinfektan yang cocok.
·         Semua wadah yang kontak langsung dengan ikan harus dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.
Frekuensi pencucian dari alat dapur tergantung pada jenis alat yang digunakan. Alat saji dan alat masak harus dicuci, dibilas  dan disanitasi segera setelah digunakan. Permukaan peralatan yang secara langsung kontak dengan makanan, seperti pemanggang atau oven dibersihkan paling sedikit satu kali sehari. Peralatan bantu yang tidak secara langsung bersentuhan dengan makanan harus dibersihkan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya akumulasi debu, serpihan bahan atau produk makanan, serta kotoran lain (Purnawijayanti, 2001).
2.6.4. Penerapan Sanitasi dan Higiene Ruang Proses
Adapun penerapan sanitasi dan higiene pada ruang proses adalah sebagai berikut, hal ini berdasarkan pendapat Wibowo (2003) :
·      Lantai ruang pengolahan dan fasillitas lain hendaknya disemen dengan bahan yang tidak berbahaya dan mudah dibersihkan.
·      Saluran pembuangan harus selalu lancar diperiksa setiap hari dan dibersihkan.
·      Lantai, ruang pengolahan, dan peralatan dibersihkan setiap hari atau setelah akhir proses.
·      Membatasi kesempatan bagi lalat, serangga lain, dan rodensia untuk masuk ke ruang pengolahan, misalnya dengan memasang kawat kasa pada pintu masuk dan jendela, memasang jeruji baja pada saluran pembuangan air, menutup tempat sampah dan sebagainya.
·      Atap tidak boleh bocor, cukup landai dan tidak menjadi sarang serangga dan tikus. Langit–langit harus senantiasa bersih dan dirawat bebas dari retakan dan lubang–lubang.
·      Permukaan dinding dibuat dari bahan yang kuat, halus, kering dan tidak menyerap air serta mudah dibersihkan, sehingga tidak mudah ditumbuhi oleh jamur atau kapang yang akan mengotori dinding dan tempat berkumpulnya kuman.
·      Ruang pengolahan tidak boleh berhubungan langsung dengan jamban, peturasan dan kamar mandi.
2.6.5. Penerapan Sanitasi dan Higiene Karyawan
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga sanitasi dan higiene karyawan dijelaskan oleh Wibowo (2003) sebagai berikut:
·      Selalu menjaga kebersihan badan.
·      Membiasakan diri bekerja dengan baik, disiplin, dan mengikuti prosedur yang berlaku.
·       Mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan dan sepatu kerja. Pakaian dan perlengkapan hanya dipakai untuk bekerja.
·         Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet.
Ditambahkan pula oleh Purnawijayati  (2001), tentang sanitasi dan higiene  karyawan, diantaranya :
·           Tidak merokok, makan, atau mengunyah selama melakukan aktivitas penanganan makanan.
·           Tidak meludah atau membuang ingus di dalam daerah pengolahan.
·           Selalu menutup mulut dan hidung pada waktu batuk ataupun bersin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar