LAPORAN PRAKTIKUM PENGALENGAN IKAN TUNA (Thunnus sp.)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Proses Pengalengan Ikan
Tuna
Secara garis besar, proses
pengalengan ikan Tuna di PT. Bali Maya Permai ini sudah sesuai dengan Prosedur
Proses Pengalengan Ikan Tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992 yang meliputi : Penerimaan Bahan Baku, Chilling / Thawing (Pelelehan), Butchering(Penyiangan), Pre-cooking (Pemasakan Awal), Cooling (Pendinginan), Cleaning (Pembersihan), Cutting (Pemotongan), Filling (Pengisian), Pengisian Medium, Seaming (Penutupan Kaleng), Retorting (Sterilisasi), Isolasi, Packaging (Pengemasan), Storaging (Penyimpanan).
5.1.1. Penerimaan Bahan Baku
Bahan baku ikan Tuna segar
diterima dalam keadaan segar utuh dengan suhu antara 0º- 4ºC dan ada pula dalam
keadaan beku (Frozen) dengan suhu di
bawah -6ºC. Dengan jenis ikan yang bervariasi, seperti Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Baby Tuna, Tuna Long Tail, Tuna
Albacore, dan Tuna Tonggol. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712-1992 yang
menjelaskan bahwa bahan baku tuna kaleng harus memenuhi syarat seperti : salah
satu jenis ikan yang digunakan adalah tuna Albacore, bentuk bahan baku yang
digunakan adalah berupa ikan tuna segar atau beku, utuh , atau tanpa isi perut
dan insang.
Penerimaan bahan baku tidak
menentu sesuai dengan permintaan buyer dan proses produksi yang akan dilakukan.
Rata – rata bahan baku yang diterima setiap kali penerimaan yaitu + 19 –
20 ton seperti yang terlihat pada Lampiran 5.
Ikan –ikan Tuna ini diterima dari beberapa suppliyer yang telah lama
mejalin kerjasama dengan PT. Bali Maya Permai, diantaranya yaitu : Bandar
Nelayan (Denpasar), Ex. Ramon (Denpasar), Anto (Muncar), dan masih banyak
lainnya. Ikan yang diterima ini tidak langsung diturunkan dari truk pengangkut
(container). Sebelum dinyatakan Release
atau lolos dan boleh diturunkan dari truk untuk digunakan sebagai bahan baku,
ikan – ikan tersebut harus melewati pengujian awal terlebih dahulu, yaitu
pengujian organoleptik, histamin, dan kadar garam yang dilaksanakan oleh bagian
Quality Assurance di Laboratorium
Kimia millik PT. Bali Maya Permai. Uji Organoleptik berpatokan pada kenampakan,
bau, warna, tekstur, insang, daging, mata seperti pada Lampiran 6. Sehingga hasil akhir ikan Tuna yang digunakan
adalah yang memiliki Grade I dan beberapa dari Grade II. Ikan Tuna Grade II
yang digunakan biasanya hanya untuk pemasaran produk dalam negeri (lokal) dan
jumlahnya disesuaikan dengan produk yang dibutuhkan. Sedangkan ikan Tuna yang
memiliki Grade III dan IV dinyatakan tidak layak untuk diproduksi dan akan
dikembalikan ke suppliyer. Hal ini sesuai dengan pendapat Junianto (2003) yang
menyatakan bahwa pengujian organoleptik sangat dibutuhkan dalam penerimaan awal
bahan baku untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan yang dapat dilihat dari
kenampakan (kulit,sisik),
insang berwarna merah cerah, bau tidak
amis, mata ikan jernih dan
menonjol, tekstur daging kenyal,
dan sirip yang masih kuat.
Menurut Wahyuni (2006) bila tidak
ditangani dengan baik selama proses penangkapan dan penanganan ikan Tuna khususnya
bila suhu ikan melebihi 4,4ºC, maka asam amino histidin akan terkonversi
menjadi senyawa beracun, histamin, oleh bakteri Proteus Morganii sehingga
pengujian histamin sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya senyawa
beracun tersebut dalam tubuh ikan dan dapat mengakibatkan keracunan pada
konsumen. Cara pengujian histamin dapat dilihat pada lampiran 7.
Selain itu menurut Moeljanto (1992), pengujian kadar garam sangat
dibutuhkan untuk penentuan takaran penggunaan garam dalam proses pengalengan
sehingga diperoleh hasil akhir kadar garam setelah sterilisasi yang paling baik
yaitu 1,1 – 1,6 %. Dan metode pengujian kadar garam ini disajikan pada lampiran
8.
Bahan baku yang
telah dinyatakan lolos dari pengujian – pengujian tersebut kemudian dikeluarkan
dari truck kountainer menuju ke Cold Storage dengan mencatat beratnya, nomer
Lot/ palkah, jumlah per ekornya dan nomer ruang Cold Storage hingga ikan
dibutuhkan untuk proses produksi berikutnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa sebaiknya
bahan mentah (ikan) disimpan dalam keadaan beku sambil menunggu waktu proses.
Untuk mempertahankan kualitasnya.
5.1.2. Pelelehan (Thawing)
Ikan yang akan digunakan dalam proses produksi kemudian diangkut menuju ke
ruang thawing, lalu di letakkan dalam
bak pelelehan yang terbuat dari batu, pasir, dan semen dengan permukaan halus
dan berukuran masing – masing 184 cm x 135 cm x 76 cm sesuai dengan nomor
kedatangan dan akan dicatat waktu proses
thawingnya. Thawing dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dengan
suhu 26º-27ºC selama 2 – 6 jam tergantung dari jenis dan ukuran ikan, tiap bak
mampu menampung ikan sebanyak + 800 kg. hal ini sesuai dengan Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa proses thawing
dilakukan dengan melakukan perendaman ikan dalam air dingin mengalir sesuai
ukuran ikan (untuk ikan kecil 2 jam, sdangkan ikan ukuran besar 6 – 10 jam).
Air
yang digunakan dalam proses produksi pengalengan ikan Tuna di PT.
Bali Maya Permai adalah air yang
berasal dari sumur dalam (deep well)
yang terdapat pada empat titik penting di perusahaan tersebut. Air yang berasal
dari sumur ini telah mendapatkan uji klinis terhadap kualitas fisika dan
kimianya yang dilakukan berkala tiap 3 bulan di Laboratorium Pengendalian dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan Denpasar dan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim
dan Mutu Industri di Balai Besar Industri Agro Bogor. Data hasil pengujian
kualitas air ini dapat dilihat pada Lampiran 9.. Hal ini sesuai dengan pendapat
Said ( 2007) yang menyatakan bahwa air yang digunakan selama tahap persiapan,
pengolahan, maupun pencucian alat dan pekerja haruslah air yang bersih dan
sesuai dengan standar air minum seperti : bebas bakteri, bersih dan jernih,
tidak berwarna dan berbau, tidak mengandung bahan tersuspensi. Dan salah satu
jenis sumber air yang baik yaitu air tanah yang pada umumnya lebih bersih
daripada air permukaan.
Sedangkan
es yang digunakan dalam proses produksi adalah es balok yang dibeli langsung
dari perusahaan es balok yang terletak di sebelah Timur perusahan. Es yang
digunakan adalah yang telah memenuhi syarat es sebagai bahan pembatu. Hal ini
pun sesuai dengan pendapat Purwaingsih (1995) yang menyatakan bahwa es yang
digunakan juga haruslah berstandar air minum apabila menggunakan air yang
tercemar, atau air yang keruh maka bakteri akan menyebar terhadap bahan baku
yang akan diolah.
5.1.3.
Penyiangan (Butchering)
Setelah
di thawing maka ikan akan dikeluarkan dari dalam bak pelelehan dan diletakkan
diatas konveyor berjalan satu per satu secara bergantian berdasarkan nomor
kedatangan dan nomor bak untuk kemudian dilakukan penyiangan.
Untuk
ikan kecil yang berukuran dibawah 9 kg penyiangan dilakukan hanya dengan
menyayat bagian perut dan membuang isi perutnya. Sedangkan untuk ikan berukuran
di atas 9 kg akan dipotong menjadi 2 atau 3 bagian tergantung ukurannya. Hal
ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992 yang menyatakan bahwa untuk ikan dalam
keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut.
Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi
ukuran yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak
pre-cooking. Diperkuat pula oleh
Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa isi perut dan bagian – bagian yang tidak
dikalengkan pada jenis ikan seperti Tuna harus dipisahkan setelah atau sebelum
pengukusan pendahuluan.
5.1.4.
Pemasakan Awal (Pre-Cooking)
Setelah
disiangi dan dipotong, ikan terebut kemudian ditata pada rak cooker yang berbahan dasar baja.
Penyusunan potongan –potongan ikan itu diklasifikasikan berdasarkan bagian dan
ukurannya. Dalam satu rak terdapat lima buah sekat (layer), masing – masing layer
mampu menampung + 25 potongan ikan. Dalam ruangan pre-cooking terdapat 3 buah cooker
baja yang memiliki panjang 596 cm, lebar 170 cm, dan tinggi 247 cm. dengan
kapasitas masing – masing sekitar 3 ton.
Pada proses ini menggunakan uap berekanan yang diperoleh
dari mesin pembuat uap (boiler). Air
yang digunakan dimesin uap (boiler) secara intensif akan mendapatkan perlakuan
khusus yang disebut dengan proses Softener.
Proses Softener ini dilakukan untuk
mengurangi kesadahan air. Hal ini sesuai denga pendapat Said (2007) yang
menyatakan bahwa penggunaan air sadah dalam proses pengolahan makanan kurang
menguntungkan kaena dapat menyebabkan terbentuknya lapisan/ kerak pada alat
pengolahan terutama alat untuk proses pemanasan atau perebusan. Untuk lebih
jelas mengenai cara kerja softener dapat
dilihat pada Lampiran 10.
Proses pemasakan awal akan dilakukan dengan waktu yang berbeda sesuai
dengan jenis dan ukuran ikan. Dengan suhu rata – rata 100º - 110º C selama 1- 2 jam yang dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini sesuai dengan
Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa pemasakan pendahuluan dilakukan untuk ikan
berlemak seperti tuna dengan suhu 102,2º
– 104,4ºC selama 1 – 2,5 jam
sesuai dengan jenis dan ukuran ikan. Pendapat
Wahyuni pun diperkuat oleh SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang
menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung
pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar
air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100o - 105o C.
Pada
perusahaan ini terdapat dua buah mesin uap yang memiliki kapasitas 15 ton air
dan menghabiskan 6 ton bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan dalam mesin uap
ini adalah batu bara yang diperoleh dari pemasok asal Kalimantan dan Gresik.
Untuk lebih jelas mengenai cara pengoprasian mesin uap berdasarkan SOP (Standart
Oprational Procedure) dapat dilihat pada Lampiran 12.
Selain
proses pre-cooking, dalam mesin cooker ini juga dilakukan proses pendinginan
(cooling) selama 2 jam yang dilakukan
dengan memanfaatkan air bersih yang bersuhu 26º-27ºC selama 1 jam disemprotkan
melalui 100 lubang – lubang kecil dalam tungku cooker. Setelah itu kemudian
disusul penyemprotan dengan menggunakan air es yang bersuhu chilling berkisar antara 0º-5ºC selama 1
jam. Hal ini tidak sesuai dengan SNI
01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa Ikan yang
telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan
dapat ditangani lebih lanjut (30o C) dalam waktu maksimum 6 jam.
5.1.5. Pembersihan (Cleaning)
Setelah
ikan dikeluarkan dari mesin cooker,
maka ikan akan didistribusikan ke ruang pembersihan. Sesuai dengan pendapat Moeljanto
(1992) yang menyatakan bahwa pada ikan – ikan besar seperti Tuna, duri dan tulang – tulangnya harus dibuang
kemudian kepalanya dipisahkan setelah atau sebelum proses pemasakan
pendahuluan.
Pada perusahaan ini proses pembersihan dilakukan dengan
membersihkan insang, sisa isi
perut, tulang belakang, kepala dan siripnya sehingga yang tersisa hanya tinggal
daging yang masih lengkap dengan kulit serta duri – duri kecilnya. Kemudian akan
di bersihkan dari kulitnya dengan cara dikerik dengan menggunakan pisau kecil Stanless Steal 304 , membuangan daging merah
dan duri – duri kecil. Hal ini sesuai dengan
SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa daging
ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau
yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah
yang terpisah.
Dari bentuk ikan segar hingga didapatkan bagian
daging putihnya saja diperoleh rendemen sebesar 59%, hal ini sesuai
dengan pendapat Wahyuni (2007) yang menyatakan bahwa sandar rendemen untuk Ikan
Tuna adalah sebesar 58, 67%.
5.1.6. Pemotongan
Ikan
dari bagian pembersihan akhir kemudian akan dilewatkan pada mesin Metal Detector untuk memastikan bahwa
daging ikan tersebut bebas dari fragment
metal yang dapat mempengaruhi kualitas produk.
Kemudian
para pekerja akan memotong ikan menjadi 2 bentuk, yaitu potongan pokok dan
potongan serpihan (waste atau flake). Jumlah dari masing – masing
bagian disesuaikan dengan bentuk bagian daging ikan yang dipotong.. Hal ini
sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan
bahwa daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah,
dipotong - potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada
tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak.
Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam
kaleng.
5.1.7. Pengisian (Filling)
Pengisian daging pada tiap – tiap kaleng berbeda – beda tergantung pada
ukuran kaleng, jenis medium, dan bentuk potongan yang diminta oleh pembeli / buyer. Pengisian untuk kaleng besar dilakukan
dengan menggunakan tenaga kerja manusia sedangkan untuk kaleng kecil pengisian
dilakukan dengan menggunakan mesin. Isian kaleng dibagi menjadi tiga macam
yaitu : Solid (terdiri dari potongan pokok), standar (terdiri dari 2 – 3
potongan pokok dan 10% serpihan) dan chunk (terdiri dari 2 - 3 potongan siap
makan dan 10% serpihan). Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses
pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa pengisian daging ke dalam kaleng
dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe
produk (solid, chunk, flake, standard, grated).
a) Solid : 1 – 2 potong
daging putih, bebas serpihan.
b) Standard : 2 – 3 potong daging
putih, serpihan maksimum 2 %.
c) Chunk : serpihan daging
putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %.
d) Flake : potongan daging
kecil < chunk
e) Grated : daging kecil
(flake, tidak seperti pasta)
|
Produk
|
Kaleng
Besar (603 x 408)
|
Kaleng
Kecil (307 x 113/112/108)
|
||||
Filling Weight
|
Net Weight
|
Filling Weight
|
Net Weight
|
|||
Chunk
|
1075 g
|
1780-1885 g
|
111 g
|
170 – 185 g
|
||
Solid
|
1225 g
|
1885 g
|
127 g
|
200 g
|
||
|
1075 g
|
1885 g
|
-
|
190 g
|
Kaleng yang digunakan pada
perusahaan ini didatangkan dari PT.
Cometa Can, PT. UCC, dan PT. IMCP Surabaya dengan spesifikasi yang telah
ditentukan. Kaleng yang digunakan adalah kaleng yang telah dilapisi dengan
enamel sesuai dengan United can
company (1990), yang menyatakan bahwa untuk menghindari kemungkinan terjadinya proses karat atau perubahan
warna (discolorisation) produk, maka
pada lapisan luar dari permukaan kaleng bagian dalam diberi lacquer atau
coating. Dari berbagai jenis coating, khusus untuk olahan ikan digunakan jenis
SR (Sulphur Resistant) atau yang
disebut C-enamel.
Spesifikasi
kaleng yang digunakan pada PT. Bali Maya yaitu seperti pada Tabel 7 berikut :
|
Description
|
Can Body
|
Top End
|
||
Type & Set
|
307 x 108
|
307
|
||
Plate Material
|
ET Non 0.18mm DR 0
|
ET Non 0.21mm T4
|
||
Inside Enamel
|
Aluminized
|
Aluminized
|
||
Outside Enamel
|
Gold / Aluminized
|
Gold / Aluminized
|
||
Sealing Sistem
|
-
|
Compound
|
||
|
DR 8
|
3
|
Kaleng
yang digunakan dalam produksi Tuna adalah kaleng dengan jenis Two Can Piece (307 x 108) dan Three Can Piece ( 603 x 408) yang
non-printing. Hal ini sesuai dengan United can company (1990), Ada 2 jenis kaleng
yang umum digunakan dalam pengalengan yaitu Three piece cans yang mempunyai
ukuran (diameter) yang tidak terbatas, mempunyai range yang luas terhadap ketebalan
kekerasan dari lembaran timah yang digunakan untuk badan dan tutup kaleng,
mempunyai daya perlindungan yang tinggi terhadap isi kaleng. Dan Two Piece Cans
yang tidak mempunyai sambungan sisi sehingga terhindar dari sisi kaleng,
mempunyai daya tahan terhadap tumpukan yang tinggi, tidak terdapat hasil
pematrian, dapat disablon sehingga dapat mengurangi biaya pelabelan dan
mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan three piece cans.
Saat penerimaan, kaleng
akan di uji terlebih dahulu dengan metode sampling. Dalam setiap kaleng yang
datang 30 % nya diambil secara acak untuk dijadikan sampel. Kemudian akan diuji
spesifikasinya cara pengujian yang terdapat pada lampiran 13.
Kaleng yang akan
digunakan disimpan dalam gudang penyimpanan kaleng dan didistribusikan ke ruang
produksi dengan cara meluncurkannya dari atas melewati jalur yang terbuat dari
rangkaian besi menuju meja penampungan kaleng dalam ruang produksi. Sebelum
sampai pada meja penampungan, kaleng tersebut akan melewati sebuah kotak besi yang
didalamnya terdapat sprayer yang akan
mencuci kaleng secara otomatis sebanyak dua kali dengan menggunakan air bersih.
Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007) yang menyatakan bahwa permukaan
peralatan yang berkontak langsung dengan produk harus dibersihkan atau dicuci
terlebih dahulu minimal dengan air bersih.
5.1.8.
Pengisian Medium.
Setelah
kaleng terisi dengan daging ikan, maka proses selanjutnya adalah pengisian
medium. Medium yang digunakan sesuai dengan permintaan buyer. Ada tiga jenis medium yang tersedia untuk produk Tuna yaitu
Larutan Garam (in Brine), Minyak Soya
(in Oil), dan Sambal Pedas (Hot Spicy). Hal ini sesuai dengan
pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa di Indonesia ada tiga jenis
saus yang sering digunakan dalam produk ikan kaleng yaitu saus tomat, brine,
dan minyak atau minyak dengan cabai ditambah bumbu – bumbu lainnya.
Dalam
produksi pengalengan ikan Tuna, ada empat medium yang tersedia. Penggunaan
medium ini tergantung dari pesanan / order
dari buyer.
a.
Garam, pada produk Tuna in Brine atau Tuna
dalam Larutan Garam dibeli dari PT. Sumatraco dengan spesifikasi yang telah
sesuai dengan standar. Garam akan direbus sebelum digunakan sesuai dengan
pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa sebelum dipakai hendaknya brine
direbus lebih dulu untuk mengendapkan zat – zat yang tidak perlu dan mematikkan
mikroorganisme yang merugikan.
b.
Minyak, pada produk Tuna in Oil atau Tuna dalam Minyak didatangkan langsung dari PT.
Pangan Lestari yang mendistribusikan minyak dari Soon Soon Oil Mills Sdn Bhd
Malaysia, Sunny Group China, Smart Agribusiness and Food, dan Ngo Chew Hong
Edible Oil Pte. Ltd. Yang akan diuji FFA atau asam lemak bebasnya sesuai dengan
pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa minyak yang digunakan harus
bermutu tinggi dan tidak mengandung asam lemak bebas (Free Fatti Acid) untuk
menjaga penurunan mutu ikan kaleng (ketengikan). Prosedur pengujian FFA dapat
dilihat pada lampiran 14.
c.
Vegetable
Broth (VB), ada beberapa buyer
yang memita agar produk ikan Tuna Kaleng yang diproduksi agar diberi tambahan
VB (Vegetable Broth). Yaitu berupa tepungan dari bahan dasar kedelai
yang berfungsi untuk mengentalkan medium.
d.
Bumbu – bumbu, dalam produksi Tuna Hot Spicy atau Tuna Sambal Pedas
adalah media yang dibuat sendiri dengan resep asli milik perusahaan dari bahan
dasar bawang merah, bawang putih, cabe, garam, gula, dan bumbu rahasia lainnya.
Sebelum digunakan, bahan – bahan tersebut akan dicek terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa bahan tersebut berkualitas baik dan terjaga kesegarannya.
Sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa bumbu dan bahan
yang digunakan dalam pembuatan medium haruslah yang masak, segar, utuh, dan
berkualitas baik.
5.1.8. Penutupan
Kaleng (Seaming)
Kaleng
yang telah diisi potongan daging dan medium kemudian akan menuju ke mesin
penutupan kaleng. Dalam ruang proses ini terdapat lima buah mesin penutup
kaleng (Vaccuum Seamer), dua mesin
penutup kaleng besar dengan kecepatan menutup kaleng 18 kaleng/menit dan tiga
buah mesin penutup kaleng kecil dengan kecepatan 25 kaleng/menit. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan Vaccuum Seamer akan mengurangi tekanan
didalam kelang sehingga tidak pecah selama sterilisasi, mengurangi kemungkinan
oksidasi dan korosi, mengurangi kehidupan bekteri aerob, dan menjaga kandungan
Vitamin C.
Kaleng
yang keluar dari mesin penutup kaleng kemudian akan dialirkan menuju ruang
retort melalui jalur yang terbuat dari rangkaian besi yang telah dirancang
khusus.
5.1.10. Sterilisasi (Retorting)
Kaleng yang menuju ruang retort kemudian akan ditata dalam keranjang
retort. Pada ruangan ini terdapat delapan buah bejana retort untuk produksi
Tuna. Sebelum digunakan, mesin retort
disetting terlebih dahulu temperaturnya. Temperatur dan lama waktu sterilisasi
tergantung dari ukuran kaleng, jenis ikan dan jenis medium yang digunakan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa proses
sterilisasi dalam retort dengan pemanasan sesuai dengan jenis ukuran kaleng, media,
dan tipe produk dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukuran,
semakin kecil ukurannya maka semakin sedikit waktu yang dibutuhkan, sedangkan
semakin besar ukurannya maka semakin banyak waktu yang dibutuhkan. Berdasarkan
medium, setiap medium memiliki tingkat pemanasan yang berbeda tergantung dari
masa jenisnya. Untuk lebih jelasnya tentang standar proses sterilisasi dapat
dilihat pada Lampiran 15.
Setelah
dinyatakan selesai, proses berikutnya adalah penurunan suhu. Proses ini
dilakukan didalam retort dengan menyemprotkan air dingin bersuhu 26º - 27ºC
hingga bejana terisi penuh dengan jangka waktu yang tidak ditentukan hingga
suhu produk yang ada dala bejana turun menjadi sekitar 55º - 60ºC. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa pendinginan harus
dilakukan secepatnya setelah sterilisasi untuk mencegah terjadinya pemanasan
lebih lanjut dan menyebabkan daging hancur. Dan cara pendinginan yang baik
adalah dengan menyemprot kaleng menggunakan air dingin atau direndam dalam
tangki yang berisi air dingin.
5.1.11. Isolasi (Isolating)
Setelah kaleng dikeluarkan dari mesin retort maka kaleng – kaleng dalam
keranjang tersebut diangkut menuju ruang isolasi dengan menggunakan Katrol.
Kaleng – kaleng tersebut dibiarkan dalam keranjangnya tanpa mendapat perlakuan
apapun selama minimal 4 hingga 8 jam. Perlakuan ini bertujuan untuk mengisolasi
atau membebaskan kaleng dari bakteri dan kontaminan setelah di sterilisasi. Hal
ini sesuai dengan pendapat Destrosier (1988) yang menyatakan bahwa setelah
proses pengalengan maka produk harus disimpan dalam kondisi dimana pembusukan
biologis tidak akan terjadi oleh pengaruh kontaminasi silang.
Setelah
produk dinyatakan siap untuk dikemas, maka akan dilakukan pengujian pada produk
akhir. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan sudahlah
sesuai dengan standar yang berlaku dan tidak mengecewakan buyer. Untuk proses pengujian produk akhir dapat dilihat pada
Lampiran 16.
5.1.12. Pelabelan dan Pengemasan (Labeling and Packaging)
Kaleng yang telah diisolasi akan dipindahkan
ke bagian pengelapan. Pengelapan ini bertujuan untuk membersihkan sisa–sisa
kotoran, oli, dan air yang menempel pada permukaan kaleng. Setelah itu produk tersebut akan diangkut
menuju gudang jadi dengan menggunakan ForkLift.
Pada proses akhir sebelum produk
didistribusikan atau dipasarkan akan dilakukan proses pelabelan dan pengemasan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa agar
hasil pengalengan dapat laku dan tersebar luas pasarannya maka perlu dilakukan
pelabelan.
Produk ikan Tuna pada perusahaan ini
menggunakan kaleng non printing, maka harus digunakan label yang berbahan kertas.
Supplier label yang bekerjasama dengan PT. Bali Maya Permai yaitu diantaranya :
PT. Mitra Gravika Malang, dan PT. Sinar Harapan Surabaya. Sebelum diterima
secara utuh, label tersebut akan dicek terlebih dahulu. Dilihat dari kesesuaian
ukuran, warna, dan keterangan tulisan dengan master label yang digunakan
sebagai pedoman/ patokan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang
menyatakan bahwa pada label harus dinyatakan keterangan – keterangan, seperti
nama perusahaan, jenis ikan, jenis saus, dan berat isinya. Keterangan yang
tertera pada label harus sesuai dengan isi kaleng.
Selain label, kemasan yang
terpenting sebagai wadah untuk mempermudah dalam penyimpanan dan
pendistribusian adalah karton. Master karton yang digunakan haruslah sesuai
dengan standar yang telah ditentukan yaitu seperti pada Tabel 8 berikut :
|
ITEM
|
STANDART
|
||
Inside Dimension
|
470mm x 314mm x 114mm
|
||
Substance
|
200 wk/ 125/ 150k
|
||
Weight
|
346 gram
|
||
|
7.00 Kgf/cm2
|
||
Edge Crush
|
4.00 Kgf/cm2
|
Pada gudang jadi,
kaleng – kaleng tersebut akan diberi label sesuai dengan ukuran kaleng, jenis
produk, dan buyer yang memesan produk
tersebut. Ada dua jenis label, yaitu label untuk produk yang dipasarkan dalam
negeri (local) dan produk yang akan
dipasarkan ke luar negeri. Label produk yang dipasarkan dalam negeri ada dua
macam yaitu Tuna dalam Minyak (Tuna In
Oil) dan Tuna Sambal Pedas (Tuna Hot
Spicy) dengan Brand “King’s Fisher”. Sedangkan untuk produk yang akan di
ekspor adalah Tuna dalam Larutan Garam (Tuna
in Brine) dan label yang digunakan untuk produk ekspor ke luar negeri ada
berbagai macam sesuai dengan tujuan ekspornya, seperti Brand “Deep Blue”,
“Ruby”, “Sysco”, “Celebrity”, dan lain sebagainya.
Untuk ukuran label
yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kaleng produk, yaitu (3 cm x 28 cm)
untuk kaleng kecil ukuran 307 x 108 dan (10,6 cm x 49,8 cm) untuk kaleng besar
ukuran 603 x 408. Perekatan label menggunakan lem kertas sejenis lem merk “Fox”
yang memiliki daya rekat dan daya awet yang baik sesuai dengan pendapat
Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa dalam pemasangan label harus
diperhatikan pula perekatnya. Lebih baik menggunakan lem yang lebih mahal
tetapi hasilnya memuaskan dari pada menggunakan lem aci yang harganya murah
namun hasil rekatannya tidak maksimal.
Penyusunan produk
dalam karton dilakukan dengan mengisi 24 kaleng Tuna ukuran 307 x 108 dalam satu
karton untuk dipasarkan dalam negeri (local)
dan 48 buah untuk yang ekspor. Sedangkan untuk produk kaleng ukuran 603 x 408
dalam satu karton berisi 6 kaleng produk.
5.1.13. Penyimpanan (Storaging)
Dalam gudang penyimpanan barang jadi
terdapat berbagai produk Tuna maupun Sarden yang telah siap untuk dipasarkan.
Namun sebelum didistribusikan ke tangan konsumen, produk – produk tersebut
disimpan dalam gudang dengan menerapkan sistem FIFO (First In First Out). Setiap produk yang datang akan dicatat
tanggal masuknya per hari dan kemudian dikondisikan agar saat adanya pesanan
atau ketika produk akan didistribusikan maka produk yang awal harus dikeluarkan
lebih dahulu.
Namun
proses pengeluaran barang ini pun tidak selamanya dapat diberlakukan dengan
sistem FIFO, karena disesuaikan dengan pesanan dan permintaan buyer.
Tetapi tetap diusahakan agar produk yang pertama datang, maka harus
pertama pula keluarnya.
5.2. Sanitasi
dan Higiene
Sanitasi
dan higiene dalam setiap proses produksi pengalengan ikan harus sangat
diperhatikan dan dijaga. Karena dengan menerapkan sistem sanitasi dan higiene
yang baik akan mencegah adanya kontaminasi silang dan cemaran sehingga akan
mampu menjaga kualitas dari produk akhir yang dihasinya.
a.)
Sanitasi dan
Higiene Bahan Baku
Bahan baku yang didatangkan oleh perusahaan, akan
mendapatkan pengujian laboratorium terlebih dahulu dengan perlakuan yang sangat
higiene yaitu petugas menggunakan peralatan yang bersih dalam melaksanakan
tugasnya. Setelah dinyatakan Release
maka bahan baku akan dipindahkan dalam keadaan beku menuju gudang penyimpanan
beku maupun menuju ke ruang proses dengan tetap menjaga kebersihan dan suhunya.
Dan kemudian akan dicuci bersih sambil di thawing
sebelum bahan baku diproses untuk membuang semua kotoran yang menempel pada
permukaan bahan baku. Hal ini sesuai dengan Purwaningsih (1995), sanitasi dan
higiene bahan baku sangat penting artinya bagi bahan olahan yang telah jadi.
Dalam sanitasi dan higiene yang perlu dilakukan pada penerimaan bahan baku
adalah setelah dibongkar, bahan baku dicuci dahulu dengan dengan air bersih
sebelum ditimbang atau dimasukkan ke ruang proses pengolahan. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi kotoran dan bakteri yang terbawa dari perairan.
b.)
Sanitasi dan
Higiene Bahan Pembantu
Bahan pembantu yang digunakan dalam perusahaan ini
yaitu air dan es. Air dan es yang digunakan adalah air dan es yang benar –
benar bersih dan terjaga kualitas serta sanitasi dan higienenya. Air yang
digunakan adalah yang yang berstandar air bersih yang telah mendapatkan pengujian
baik secara fisika, kimia,maupun biologi dari pihak – pihak yang berwenang.
Sedangkan es yang digunakan adalah es yang dibeli dari perusahaan pembuat es
yang telah teruji klinis dan mampu menyertakan bukti pengujian kesehatan es
hasil produksinya.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Said (2007) yang
menyatakan bahwa Air yang
digunakan selama tahap persiapan, pengolahan, maupun pencucian alat dan pekerja
oleh karena itu air yang digunakan harus memenuhi standar persyaratan
air bersih . Sedangkan, es yang digunakan juga haruslah berstandar air minum
apabila menggunakan air yang tercemar, atau air yang keruh maka bakteri akan
menyebar terhadap bahan baku yang akan diolah. Sanitasi
air untuk pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan menyediakan air yang memenuhi
persyaratan serta menjamin tidak terjadinya kontaminasi makanan.
c). Sanitasi
Peralatan
Setiap peralatan yang
digunakan dalam proses pengalengan ikan Tuna ini akan dicuci bersih dengan
menggunakan bahan pembersih / saniter dan air yang diberi klorin 100 - 150 ppm
saat sebelum dan sesudah digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007), yang menyatakan bahwa semua peralatan serta perlengkapan pembantu yang digunakan dan operasi
pengolahan harus selalu mendapatkan perhatian, perawatan dan perbaikan agar
selalu bersih dan saniter. Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan
dengan bahan yang diolah (kecuali terhadap produk akhir yang dikemas), harus di
bersihkan dan di desinfeksi sekurang–kurangnya satu kali dalam satu
gilir kerja kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter. Ditambahkan
oleh Purnawijayanti (1999), bahwa semua peralatan yang digunakan untuk proses
produksi harus didesain sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan diawasi
kebersihannya serta terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak
merupakan sumber kontaminasi.
d). Sanitasi
Pekerja
Pada unit pengalengan
ikan Tuna ini, setiap karyawan, petugas maupun pengunjung yang hendak memasuki
ruang proses, diharuskan untuk menggunakan pakaian kerja bersih yang telah
disediakan diruang ganti pakaian seperti penutup kepala, jas kerja, masker,
sepatu boat naun tanpa
dilengkapi dengan sarung tangan. Sebelum memasuki ruang proses, pekerja harus
membersihkan sepatu boat dengan mencalupkannya ke bak pencucian kaki yang telah
berisi air klorin 200 ppm, kemudian mencuci tangan dengan sabun cuci tangan
selama 20 detik, membilasnya,dan mencelupkan kembali kedalam air klorin 50 – 75
ppm.
Pekerja yang dalam
keadaan sakit dan hamil, diharuskan untuk beristirahat dan tidak bekerja dulu
sebelum benar – benar sehat dan
siap untuk bekerja. Kesehatan karyawan sangat diperhatikan dengan adanya
pemberian jaminan kesehatan dan
pelaksanaan pemeriksaan kebersihan. Pemeriksaan kebersihan karyawan seperti
pemeriksaan kuku dilakukan setiap hari saat pekerja baru saja datang dan hendak
melaksanakan absen kehadiran dibagian front office HRD. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Said (2007), yang menyatakan bahwa kesehatan pekerja harus diperiksa secara periodik agar tidak ada seorang
pekerja pun menderita penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan. Pimpinan
unit pengolahan harus melarang pekerja bekerja apabila sakit atau menderita
penyakit yang dapat ditularkan kepada bahan baku dan produk akhir. Oleh karena
itu pekerja yang bekerja harus :
a)
Dilengkapi
dengan memakai pakaian kerja, topi atau
penutup kepala, sarung tangan dan sepatu
b)
Tidak
memelihara kuku
c)
Kontrol kesehatan pekerja.
e). Sanitasi Lingkungan.
Pada setiap unit usaha pengolahan perikanan, faktor kebersihan
lingkungan sangatlah mempengaruhi kualitas produk akhir yang dihasilkan. Untuk
mencpai hasil yang memiliki kualitas dan mutu yang baik, maka sanitasi
lingkungannya pun harus baik dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Pada PT. Bali Maya Permai konsidi lingkungannya nyaris sesuai dengan
pendapat Wignjosoebroto (1996), dimana pada setiap ruangan produksi sangat
terjaga kebersihannya. Setiap sumber kontaminan dijauhkan dari bahan baku,
bahan pembantu, dan bahan tambahan produk.
Namun pada desain bangunan dan ruangannya tidak sesuai dengan pendapat
Wignjosoebroto (1996), yaitu Lantai ruang yang digunakan untuk pekerjaan basah
harus mempunyai kemiringan
yang cukup (minimal 30), terbuat dari bahanyang kedap air, tahan
bahan kimia, permukaannya halus dan rata, mudah dibersihkan dan pertemuan
antara lantai dan didinding harus melelngkung (tidak membentuk sudut). Sedangkan pada PT. Bali Maya Permai lantai
ruangannya berbahan dasar keramik yang berbentuk persegi dan bersekat – sekat
sehingga mempermudah kotoran, air, dan sisa – sisa produksi untuk menempel dan
menjadi tempat pertumbuhan bakteri.
Selain itu Wignjosoebroto menambahkan bahwa Langit-langit : Ruangan tempat pengolahan harus mempunyai
langit-langit (palfon) yang tidak retak, tidak becelah, tidak terdapat tonjolan
dan sambungan yang terbuka.
Sedangkan yang terdapat dilapangan langit – langit ruang produksi terbuat dari
bahan yang bersekat sehingga mempermudah terjadi kontaminasi.