Jumat, 16 Mei 2014

Traceability




Pedoman Teknis
Aplikasi Kemampuan Telusur (Traceability)
di Rantai Suplai Hasil Perikanan






I.      LATAR BELAKANG
Globalisasi industri/bisnis pangan berkembang secara dramatis dengan segala sistem dan pendukungnya selama dua dekade, hal ini disebabkan oleh adanya sumber bahan baku yang berskala internasional, kemajuan teknologi pengolahan makanan, dan perkembangan komunikasi elektronik sangat cepat. Pada saat yang sama, konsumen menginginkan adanya keamanan pangan (food safety) dan industri makanan sangat perhatian mengenai rantai suplai yang panjang dan secara signifikan memberikan peluang cukup besar yang dapat menghilangkan atau menurunkan mutu makanan.
Sebagai konsekuensi, pemerintah dan para pimpinan industri makanan tentunya sangat perhatian mengenai jaminan mutu dan keamanan pangan, mengeksplorasi dengan maksud untuk memberikan lebih banyak informasi mengenai sumber bahan baku, proses pengolahan, dan distribusi produk makanan dalam rantai suplai dan akhirnya sampai ke konsumen. Belakangan ini, undang-undang pangan yang ada di berbagai negara telah menempatkan tanggung jawab untuk menjamin mutu dan keamanan produk kepada para produsen, pengolah, dan peretail. Bahkan tanpa legislasipun, para usaha manufaktur makanan telah senantiasa menjaga tingkat kemampuan telusur (traceability) di industri makanan – setiap perusahaan mampu mengidentifikasi para unit pemasok (supplier unit) dan pelanggan (customers). Namun, penerapan wajib kemampuan telusur (mandatory traceability) untuk pengendalian keamanan pangan dipisahkan tersendiri sebagai suatu area dimana transparansi dan pengawasan lebih ketat diperlukan. Perhatian masyarakat Global mengenai kepastian dan keamanan pangan direspon dengan pengembangan standard internasional yang baru,       petunjuk – petunjuk industri, dan legislasi.
Dua blok importir utama hasil perikanan yang mempersyaratkan aturan traceability pada industri makanan adalah Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di Uni Eropa, EU directive 178/2002 berlaku pada 1 Januari 2005 dan mempersyaratkan mandatory traceability untuk seluruh produk makanan dan pakan yang diedarkan dalam Negara anggota Uni Eropa. Di Amerika Serikat, the Public Health Security and Bioterrorism  Preparedness  and  Response Act of 2002 berlaku  efektif pada 12 Desember 2003 dan mempersyaratkan registrasi seluruh fasilitas domestik makanan, dan memberitahu lebih dulu impor makanan masuk ke Amerika Serikat. Organisasi lainnya seperti Codex Alimentarius dan International Standardization Organization (ISO) berperan penting dalam pengembangan standard – standard internasional, dan petunjuk industri untuk food traceability.
Dengan mengetahui asal usul di rantai suplai hasil perikanan, maka harapan pelanggan dan konsumen terhadap jaminan keamanan pangan akan menjadi semakin jelas.

II.   TUJUAN
Tujuan penyusunan ”Pedoman Aplikasi Kemampuan Telusur (Traceability) di rantai suplai hasil perikanan” adalah sebagai berikut :
1.   Sebagai Pedoman bagi Unit Pemasok (Supplier Unit), Unit Pengumpul (collecting unit), atau Mini Plant agar dapat dapat mengetahui dan menerapkan kemampuan telusur asal bahan baku hasil perikanan sebelum masuk ke Unit Pengolahan Ikan (UPI).
2.   Sebagai pedoman bagi Unit Pengolahan Ikan untuk melakukan audit external terhadap unit pemasok (supplier) dan unit pengumpul (collecting unit/mini plant) dalam rangka Approval Supplier Program.
3.   Sebagai Pedoman bagi otoritas kompeten daerah dalam melakukan pembinaan dan pengendalian mutu di unit pemasok (Supplier) dan unit Pengumpul (Collecting unit/Mini Plant) dalam rangka penerapan Sertifikasi Kelayakan Dasar bagi unit supplier

III.  ACUAN NORMATIF
  1. Codex Alimentarius Commission, Guidelines for Generic Official Certificates Formats and the Production and Issuance of Certificates 38 – 2001.
  2. Council and European Parliament Regulation (EC) No 178/2002 : Article 18, 19, 20 merupakan lembaran kunci legislasi Food Traceability di Uni Eropa
  3. PERMENKP RI Nomor : Per. 01/Men/2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pada BAB III menerangkan Prisip-prinsip Pengendalian Pasal 3, huruf c. Menerapkan prinsip ketertelusuran bagi pelaku usaha.
  4. KEPMENKP RI No.: 01/2007  tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan di Tahap Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
® BAB VIII, Pasal 13 Ketertelusuran
·   Ketertelusuran hasil perikanan pada seluruh tahap produksi, pengolahan dan distribusi harus dikembangkan.
·   Pelaku usaha hasil perikanan harus mampu mengidentifikasi personil dan pelaku usaha yang mengirim pasokan ikan untuk tujuan pengolahan, serta membangun system dan prosedur yang memungkinkan otoritas kompeten dapat mendapatkan informasi bila diperlukan
·   Pelaku usaha pengolahan harus memberikan label atau informasi yang mengidentifikasi ketertelusurannya sesuai dengan persyaratan jenis produk tertentu.
  1. Peraturan Direktur Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor : PER.001/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Penerapan Sistem jaminan Mutu Hasil Perikanan. Pasal 10 lampiran XVI mengenai daftar Penilaian Kemampuan Telusur


IV.  ISTILAH  DAN DEFINISI           
1.    Definisi Traceability yang terkait dengan bisnis pangan dan relevan adalah dari Codex Alimentarius dan dari Uni Eropa. Definisi dari Codex dibuat cukup sederhana yaitu kemampuan untuk mengikuti perjalanan pangan di setiap tahapan produksi, proses dan distribusi. Sedangkan Uni Eropa mendefinisikannya secara lebih komprehensif yang mencakup semua produk atau yang terkait dengan pangan. Yaitu kemampuan untuk mencari dan mengikuti jejak/riwayat pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan, atau substansi yang akan atau mungkin dicampurkan ke dalam pangan dan pakan di setiap tahapan produksi, pengolahan dan distribusi.
2.    Kemampuan telusur dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kemampuan telusur internal dan eksternal. Kemampuan telusur internal mencakup ketertelusuran bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu unit produksi atau satu unit pengolahan dan hanya melibatkan satu pihak. Sedangkan secara eksternal, ketertelusuran mencakup perpindahan produk dari alur sepanjang rantai suplai (misalnya dari kapal/nelayan sampai ke konsumen di luar negeri) dan bisa melibatkan lebih dari satu pihak.
3.    Unit Pengumpul (Collecting Unit) atau Unit Pemasok (Supplier Unit) adalah unit usaha perorangan atau badan usaha untuk mengumpulkan bahan baku hasil perikanan dengan beberapa cara dari sentra produksi perikanan tangkap dan atau perikanan budidaya dengan tujuan untuk penanganan (dan atau juga penyiangan sebagai bahan setengah jadi), penyimpanan, pengemasan, dan terakhir pemasokan ke unit pengolahan ikan atau ke tempat pemasaran ikan seperti tempat pelelangan ikan atau pasar ikan.
V.   MANFAAT KEMAMPUAN TELUSUR
Penelusuran balik atau mendapatkan kembali informasi mengenai asal – usul (lokasi, proses, dll) suatu produk makanan adalah melalui identifikasi nomor/kode/dokumen yang dibuat sebelumnya. Dalam praktek mengapa diperlukan Traceability karena ketika ada sesuatu yang salah, kita butuh untuk mencari siapa yang bertanggung jawab, dan menghindari kesalahan yang sama tidak akan dibuat lagi. Agar traceability dapat diterapkan secara konsisten, maka semua pihak yang terlibat dalam rantai suplai dan prosuksi harus melakukan pencatatan (informasi dan koleksi data) tentang hal-hal yang telah ditentukan terhadap input produksi atau produk yang dikelolanya.
Contoh uraian siapa yang mengerjakan informasi dan koleksi data untuk traceability :
·         Saya memiliki datadase sendiri di tambak/kolam ikan, kapal ikan, pabrik pengolahan, container, dll.
·         Saya memperoleh data/informasi dari alur-alur sebelumnya dalam suatu rantai, lalu data/informasi dilewatkan bersamaan dengan ikan/produk
·         Saya mencatat data/informasi dan memindahkannya pada label atau bersamaan dengan alur informasi (kertas, fax, e-mail, hp, dll)
Traceability sangat dibutuhkan bagi produsen (untuk tindakan koreksi, data historis, perbaikan secara kontinue), auditor, dan pelanggan (customer). Manfaat Traceability dalam manajemen rantai suplai makanan sebagai berikut :
·         Mengendalikan insiden keamanan pangan (food safety incidents): Produk dapat di tarik kembali (recall) dengan mudah jika sumber material yang berbahaya dapat diidentifikasi dan produk bermasalah dapat diisolasi dari rantai supplai
·         Memudahkan identifikasi program monitoring residu pada titik kunci dalam mata rantai suplai hasil perikanan.
·         Meningkatkan efisiensi pabrik : meminimalkan kerugian pada waktu me-recall produk karena hanya dilakukan pada produk yang rmasalah saja
·         Verifikasi asal produk
·         Chain of Custody : pemenuhan alur informasi dan koleksi data dari hilir ke hulu

VI.  PENERAPAN TRACEABILITY DI RANTAI SUPLAI HASIL PERIKANAN
Dalam manajemen rantai suplai hasil perikanan, masing – masing pelaku usaha yang terkait seyogjanya harus bertanggung jawab terhadap mutu dan keamanan bahan pangan dimana mereka memproduksi, memanen, menangani (di agen pemasok), pengangkutan/distribusi, dan mengolah. Alur informasi dan koleksi data tentang bahan makanan dan bahan-bahan tambahan dalam rantai bisnis ini harus mengalir secara transparan dan absah bersamaan dengan alur suplai bahan makanan dan bahan tambahan tersebut.
Masing – masing pelaku usaha di rantai suplai tersebut harus mencatat apa yang mereka kerjakan di selembar kertas atau disebut paper-based system atau dengan memakai peralatan elektronik (mobile phone, laptop, komputer atau disebut electronic – based system). Selanjutnya pelaku memelihara catatan setidaknya tentang 1) nama,  dan alamat pemasok serta jenis dan kondisi bahan atau produk yang diperoleh darinya, 2) nama dan alamat pelanggan (pembeli) serta jenis maupun kondisi bahan atau produk yang dipasok kepadanya dan 3) tanggal setiap penerimaan atau penghantaran bahan atau produk. Dalam sistem traceability hal ini biasa disebut sebagai pendekatan selangkah kedepan–selangkah ke belakang (one step backward – one step foward approach).
Dalam penerapan internal traceability system baik di unit pemasok (alur sederhana) atau di UPI (alur/step yang kompleks), maka hal ini perlu manajemen alur informasi dan koleksi data yang masing-masing unit usaha akan menggunakan kode atau ID yang terdiri dari 4 prinsip sebagai berikut : 
ID sama
 
Process Step
 
 

® 
A
 
A
 
Transfer data
A
 
 



® 
ID sama
 
A
 
Process Step
 
Penambahan data
X =    ID baru
 
X
 
 






®  Penggabungan data
C
 
X, Y, Z =    ID baru
 
 





® 
A
 
Y
 
Pemisahan data

Z
 
 




Gambaran secara umum Rantai suplai hasil perikanan di Indonesia dapat diuraikan seperti gambar dibawah ini :

 











6.1.   Aspek-aspek  Pengkodean
Prinsip yang harus dipegang dalam melakukan kegiatan pengkodean pada sistem Traceability disetiap rantai supply hasil perikanan adalah harus membuat nomor identifikasi yang jelas mengenai produk yang ditangani, pencantuman serta pengiriman kode (nomor identitas) dan bila terjadi penggabungan bath harus akurat  serta harus mencantumkan informasi yang perlu diketahui oleh konsumen.
Aturan dasar pengkodean sistem Traceability harus memenuhi beberapa ketentuan diantaranya; a. Sesuai dengan  Standard Internasional; b. Kode tidak mudah berubah; c. Dapat diaplikasikan kepada semua produk perikanan. Dalam membuat dan mencantumkan pengkodean harus dapat mengidentitaskan tentang; Kode Asal Usul Barang yang mencakup 5 kode : Kode: pertama Negara dengan referensi ISO 3166-1, kedua Propinsi dengan referensi ISO 3166-2,dan ketiga Kabupaten/Kota dengan referensi BPS-RI, sedangkan tentang informasi  Keamanan dan Mutu hasil perikanan mencakup: Informasi lain memuat tentang lokasi, jenis, volume, nama pelaku, asal bahan baku, nama kapal, nama perusahaan, dan waktu pelaksanaan.  


6.2.   Pengkodean Traceability
Untuk memudahkan dan mengidentifikasi sistem traceability maka perlu dibuatkan kode yang berbeda-beda diantara masing-masing unit usaha bidang perikanan yang terdiri dari ; Kode Perikanan Budidaya dan Kode Perikanan Tangkap yang keduanya memuat kategori asal-usul hasil perikanan dan informasi lain terkait data untuk mendukung kemampuan telusur.
1.   Kode Traceability Perikanan Budidaya

Negara
I
D
Propinsi
J
I
Kabupaten
2
4
Kecamatan
0
1
Informasi lain
3
2
5
8
0
     

 







2.        Kode Traceability Perikanan Tangkap

FAO
7
1
Negara
I
D
Propinsi
J
I
WPPI
3
0
1
Pendaratan Ikan
0
1
3
Informasi lain
5
8
8
3
0
Informasi Lain :
®  Kode Suplayer
®  Kode Kolam
®  Tanggal Panen
®  Jenis Ikan yang dipanen
 
Informasi tentang asal usul bahan baku
 
Informasi Lain :
3  = Kode Nelayan
8  = Alamat Nelayan
830  = Tanggal Panen
 













6.3.      Aplikasi Pengkodean Traceability       
6.3.1.    Pengkodean Traceability di Unit Produsen Pembudidaya Ikan/Udang Skala Kecil/Menengah
Pada setiap kode produksi, para pembudidaya mampu memberikan informasi kepada Unit Pengumpul/Unit Pemasok baik melalui sehelai kertas atau melalui handphone (SMS) dengan menggunakan contoh kode traceability sebagai berikut :
JI-24-01-3580-UT
 
 



JI  = Kode Provinsi
24 = Kode Kabupaten
01 = Kode Kecamatan
3   = Kode Petak Kolam No.3
580   = Kode Panen Tanggal 5 bulan 8 tahun 2010
UT= Jenis udang tiger

6.3.2.    Unit Produsen Nelayan Skala Kecil/Menengah
Pada setiap kode produksi, para nelayan mampu memberikan informasi kepada Unit Pengumpul/Unit Pemasok melalui sehelai kertas atau handphone (SMS) dengan menggunakan contoh kode traceability sebagai berikut
JI-301-01-2580K
 
 


JI  = Kode Provinsi
301 = Kode WPPI I Laut Jawa
01 = Kode Pendaratan Ikan
2   = Kode Nelayan
5   = Kode Panen Tanggal 5 bulan 8 tahun 2010
K  = Jenis Ikan Kakap



6.3.3.    Unit Pengumpul (Collecting Unit) atau Unit Pemasok (Supplier Unit)
Dalam rantai suplai hasil perikanan di Indonesia, unit pengumpul atau pemasok inilah yang berperan sangat penting sebagai agen untuk memasok bahan baku hasil perikanan ke UPI untuk proses pengolahan lebih lanjut. Para nelayan dan pembudidaya banyak bergantung kepada pedagang/agen perantara ini.  Begitu juga halnya UPI juga mengharapkan pasokan bahan baku dari agen pengumpul tersebut. Namun, secara umum unit-unit ini mungkin belum menerapkan traceability secara baik untuk mengetahui asal usul bahan baku yang mereka suplai ke Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Penerapan alur informasi dan koleksi data untuk traceability di unit-unit dapat menggunakan prinsip transfer data, dan atau penggabungan data sebagaimana contoh sebagai berikut :
®  Penggabungan data bahan baku hasil perikanan tangkap :
 








           

® 
Koleksi data meliputi :
-  Daftar nama pembudidaya ikan/udang (Kode)
-  Alamat pembudidaya
-  Lokasi budidaya
-  Jenis Ikan/udang
-  tanggal pembelian bahan baku
-  Volume per pembudidaya
-  Mutu Ikan/udang : bebas bahan kimia/antibiotik


 
Penggabungan data pembelian bahan baku dari unit usaha budidaya tambak suplai ke UPI
 











6.3.4.    Unit Pengolahan Ikan (UPI)
Dalam manajemen rantai suplai hasil perikanan, UPI seharusnya memiliki tanggung jawab/komitmen dalam menjamin mutu dan keamanan produk akhir serta penerapan kemampuan telusur (traceability) secara konsisten melalui upaya membangun kerjasama dengan para supplier (building alliances with suppliers) dalam rangka Approved Supplier melalui prinsip moral bisnis. Dalam hal ini, UPI dituntut untuk wajib membina dan menilai para supplier sampai mereka memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan. Selanjutnya unit supplier mendapatkan Approved Supplier dari UPI, dan UPI lalu melakukan audit secara berkala dan evaluasi para supplier, dan bukannya UPI hanya meminta surat garansi (letter of guarantee) jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Apabila terjadi kasus penolakan produk oleh otoritas kompeten di negara importir, maka UPI bersama unit supplier yang akan bertanggung jawab atas terjadinya kasus penolakan. 
Seperti diuraikan terdahulu bahwa alur proses pengolahan ikan di UPI adalah sangat kompleks, oleh sebab itu implementasi sistem Traceability untuk setiap batch (yang artinya dalam jumlah kemasan, pallet, atau kontainer) produk di UPI mungkin akan menggunakan 3 prinsip yaitu penambahan, penggabungan, dan pemisahan data. Setiap UPI akan merancang sendiri sistem pengkodean (ID) Traceability untuk setiap batch produk. Dalam merancang Internal Traceability System di UPI yang memiliki alur informasi dan koleksi data yang kompleks prinsip informasi, maka manajemen UPI memerlukan persiapan dan tahapan sebagai berikut
a)   Analisa sistem :  
®  Menetapkan tim
®  Menentukan flow diagram
®  Identifikasi prosedur dan rekaman
®  Konfirmasi di lapangan
b)   Assesmen Traceability di seluruh tahapan proses : Menilai apakah sistem yang ada sudah menjamin bahwa seluruh operasi di seluruh tahapan proses telah dapat direkam/dokumentasi
c)   Prosedur Recall (menarik kembali)
        Tim Manajemen Recall
        Arsip Komplain dan daftar Recall contact
        Melacak produk
        Catatan Suplai dan distribusi

Contoh sistem dan data Traceability di UPI yang melakukan usaha integrated atau kemitraan dengan unit usaha budidaya (inti – plasma) baik pola intensif maupun tradisional :

Contoh kode produksi 1808905135 (traceability) di kemasan master karton untuk setiap shift angkatan produksi pengolahan di UPI untuk produk udang hasil budidaya :

18089
05
1
33
Diproduksi tgl 18/08/2009
Basis Kode Kolam
Diproduksi oleh pekerja shift 1
ID spesifik produk




Contoh sistem dan data Traceability di UPI yang melakukan usaha kemitraan dengan unit usaha penangkapan ikan /nelayan (inti – plasma) atau dengan supplier :
Nomor Kontainer
 


Contoh kode produksi 1808903215 (traceability) di kemasan master karton untuk setiap shift angkatan produksi pengolahan di UPI dari hasil perikanan tangkap

18089
03
2
15
Diproduksi tgl 18/08/2009
Basis Kode Unit Pemasok
Diproduksi oleh pekerja shift 2
ID spesifik produk





Selain UPI merancang sendiri Kode Internal Traceability seperti diuraikan diatas, UPI dapat merancang Kode Traceability secara keseluruhan dengan menambahkan asal usul bahan baku dengan menambahkan kode Negara dan kode Provinsi.


VI.   APPROVED SUPPLIER PROGRAM
Approved Supplier adalah program bagi UPI untuk menilai unit pengumpul atau unit pemasok bahan baku atau produk perikanan dalam rangka mendukung penerapan HACCP di UPI.  Dalam program ini UPI dapat menelusuri asal usul bahan baku, alamat supplier/nelayan, wilayah penangkapan, sehingga memudahkan bagi UPI untuk melakukan pembinaan atau audit secara berkala kepada mengenai kepastian jaminan mutu dan keamanan bahan baku sesuai dengan penerapan HACCP. Masing-masing UPI dapat membuat Prosedur Operasi Standar Approved Supplier dan menerapkannya sesuai dengan program kerja.
























VII.    PENUTUP

Pedoman kemampuan telusur (traceability) di rantai suplai hasil perikanan ini diharapkan bermanfaat bagi para pelaku usaha di rantai suplai khususnya unit pengumpul atau unit pemasok untuk menerapkan traceability melalui aktifitas pencatatan informasi atau data secara seksama dan konsisten, dan pemeliharaan catatan tersebut. Semua informasi atau data akurat terkait suplai bahan baku atau produk hasil perikanan mengalir di rantai suplai dapat diakses oleh Otoritas Kompeten atau pihak yang berkepentingan.