Pedoman
Teknis
Aplikasi
Kemampuan Telusur (Traceability)
di Rantai
Suplai Hasil Perikanan
I. LATAR BELAKANG
Globalisasi industri/bisnis
pangan berkembang secara dramatis dengan segala sistem dan pendukungnya selama
dua dekade, hal ini disebabkan oleh adanya sumber bahan baku yang berskala
internasional, kemajuan teknologi pengolahan makanan, dan perkembangan
komunikasi elektronik sangat cepat. Pada saat yang sama, konsumen menginginkan adanya
keamanan pangan (food safety) dan industri makanan sangat perhatian
mengenai rantai suplai yang panjang dan secara signifikan memberikan peluang
cukup besar yang dapat menghilangkan atau menurunkan mutu makanan.
Sebagai konsekuensi, pemerintah dan para pimpinan
industri makanan tentunya sangat perhatian mengenai jaminan mutu dan keamanan
pangan, mengeksplorasi dengan maksud untuk memberikan lebih banyak informasi mengenai
sumber bahan baku, proses pengolahan, dan distribusi produk makanan dalam
rantai suplai dan akhirnya sampai ke konsumen. Belakangan ini, undang-undang
pangan yang ada di berbagai negara telah menempatkan tanggung jawab untuk
menjamin mutu dan keamanan produk kepada para produsen, pengolah, dan peretail.
Bahkan tanpa legislasipun, para usaha manufaktur makanan telah senantiasa
menjaga tingkat kemampuan telusur (traceability) di industri
makanan – setiap perusahaan mampu mengidentifikasi para unit pemasok (supplier
unit) dan pelanggan (customers). Namun, penerapan wajib kemampuan
telusur (mandatory traceability) untuk pengendalian keamanan pangan
dipisahkan tersendiri sebagai suatu area dimana transparansi dan pengawasan
lebih ketat diperlukan. Perhatian masyarakat Global mengenai kepastian dan
keamanan pangan direspon dengan pengembangan standard internasional yang baru, petunjuk – petunjuk industri, dan
legislasi.
Dua blok importir utama hasil perikanan yang
mempersyaratkan aturan traceability pada industri makanan adalah Uni
Eropa dan Amerika Serikat. Di Uni Eropa, EU directive 178/2002 berlaku
pada 1 Januari 2005 dan mempersyaratkan mandatory
traceability untuk seluruh produk makanan
dan pakan yang diedarkan dalam Negara anggota Uni Eropa. Di Amerika Serikat, the
Public Health Security and Bioterrorism Preparedness
and Response Act of 2002 berlaku efektif pada 12 Desember 2003 dan
mempersyaratkan registrasi seluruh fasilitas domestik makanan, dan memberitahu
lebih dulu impor makanan masuk ke Amerika Serikat. Organisasi lainnya seperti Codex
Alimentarius dan International Standardization Organization (ISO) berperan
penting dalam pengembangan standard – standard internasional, dan petunjuk
industri untuk food traceability.
Dengan mengetahui asal usul di
rantai suplai hasil perikanan, maka harapan pelanggan dan konsumen terhadap
jaminan keamanan pangan akan menjadi semakin jelas.
II. TUJUAN
Tujuan penyusunan ”Pedoman Aplikasi Kemampuan Telusur
(Traceability) di rantai suplai hasil perikanan” adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai Pedoman bagi Unit Pemasok (Supplier Unit),
Unit Pengumpul (collecting unit),
atau Mini Plant agar dapat dapat mengetahui dan menerapkan kemampuan
telusur asal bahan baku hasil perikanan sebelum masuk ke Unit Pengolahan Ikan
(UPI).
2. Sebagai pedoman bagi Unit Pengolahan Ikan untuk melakukan
audit external terhadap unit pemasok (supplier)
dan unit pengumpul (collecting unit/mini plant) dalam rangka Approval Supplier Program.
3. Sebagai Pedoman bagi otoritas kompeten daerah dalam
melakukan pembinaan dan pengendalian mutu di unit pemasok (Supplier) dan
unit Pengumpul (Collecting unit/Mini Plant) dalam rangka penerapan
Sertifikasi Kelayakan Dasar bagi unit supplier
III. ACUAN NORMATIF
- Codex Alimentarius Commission, Guidelines for
Generic Official Certificates Formats and the Production and Issuance of
Certificates 38 – 2001.
- Council
and European Parliament Regulation (EC)
No 178/2002 : Article 18, 19,
20 merupakan lembaran kunci legislasi Food Traceability di Uni
Eropa
- PERMENKP RI Nomor : Per. 01/Men/2007 tentang
Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Pada BAB
III menerangkan Prisip-prinsip Pengendalian Pasal 3, huruf c. Menerapkan
prinsip ketertelusuran bagi pelaku usaha.
- KEPMENKP RI No.: 01/2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan di Tahap Produksi, Pengolahan dan Distribusi.
® BAB
VIII, Pasal 13 Ketertelusuran
·
Ketertelusuran hasil
perikanan pada seluruh tahap produksi, pengolahan dan distribusi harus
dikembangkan.
·
Pelaku usaha hasil
perikanan harus mampu mengidentifikasi personil dan pelaku usaha yang mengirim
pasokan ikan untuk tujuan pengolahan, serta membangun system dan prosedur yang
memungkinkan otoritas kompeten dapat mendapatkan informasi bila diperlukan
·
Pelaku usaha pengolahan
harus memberikan label atau informasi yang mengidentifikasi ketertelusurannya
sesuai dengan persyaratan jenis produk tertentu.
- Peraturan Direktur Jendral Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan Nomor : PER.001/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Penerapan
Sistem jaminan Mutu Hasil Perikanan. Pasal 10 lampiran XVI mengenai daftar
Penilaian Kemampuan Telusur
1. Definisi Traceability yang terkait
dengan bisnis pangan dan relevan adalah dari Codex Alimentarius dan dari
Uni Eropa. Definisi dari Codex dibuat cukup sederhana yaitu kemampuan untuk mengikuti perjalanan pangan di setiap
tahapan produksi, proses dan distribusi. Sedangkan Uni Eropa mendefinisikannya
secara lebih komprehensif yang mencakup semua produk atau yang terkait dengan
pangan. Yaitu kemampuan untuk mencari dan mengikuti jejak/riwayat pangan,
pakan, hewan yang menghasilkan pangan, atau substansi yang akan atau mungkin
dicampurkan ke dalam pangan dan pakan di setiap tahapan produksi, pengolahan dan
distribusi.
2. Kemampuan telusur dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kemampuan
telusur internal dan eksternal. Kemampuan telusur internal mencakup
ketertelusuran bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir di dalam satu
unit produksi atau satu unit pengolahan dan hanya melibatkan satu pihak.
Sedangkan secara eksternal, ketertelusuran mencakup perpindahan produk dari
alur sepanjang rantai suplai (misalnya dari kapal/nelayan sampai ke konsumen di
luar negeri) dan bisa melibatkan lebih dari satu pihak.
3. Unit Pengumpul (Collecting
Unit) atau Unit Pemasok (Supplier Unit) adalah unit usaha
perorangan atau badan usaha untuk mengumpulkan bahan baku hasil perikanan
dengan beberapa cara dari sentra produksi perikanan tangkap dan atau perikanan
budidaya dengan tujuan untuk penanganan (dan atau juga penyiangan sebagai bahan
setengah jadi), penyimpanan, pengemasan, dan terakhir pemasokan ke unit
pengolahan ikan atau ke tempat pemasaran ikan seperti tempat pelelangan ikan
atau pasar ikan.
V. MANFAAT KEMAMPUAN TELUSUR
Penelusuran balik atau mendapatkan kembali
informasi mengenai asal – usul (lokasi, proses, dll) suatu produk makanan adalah
melalui identifikasi nomor/kode/dokumen yang dibuat sebelumnya. Dalam
praktek mengapa diperlukan Traceability karena ketika ada sesuatu yang
salah, kita butuh untuk mencari siapa yang bertanggung jawab, dan menghindari
kesalahan yang sama tidak akan dibuat lagi. Agar traceability dapat
diterapkan secara konsisten, maka semua pihak yang terlibat dalam rantai suplai
dan prosuksi harus melakukan pencatatan (informasi dan koleksi data) tentang
hal-hal yang telah ditentukan terhadap input produksi atau produk yang
dikelolanya.
Contoh uraian siapa
yang mengerjakan informasi dan koleksi data untuk traceability :
·
Saya memiliki datadase
sendiri di tambak/kolam ikan, kapal ikan, pabrik pengolahan, container, dll.
·
Saya memperoleh data/informasi
dari alur-alur sebelumnya dalam suatu rantai, lalu data/informasi dilewatkan
bersamaan dengan ikan/produk
·
Saya mencatat data/informasi
dan memindahkannya pada label atau bersamaan dengan alur informasi (kertas,
fax, e-mail, hp, dll)
Traceability sangat dibutuhkan
bagi produsen (untuk tindakan koreksi, data historis, perbaikan secara
kontinue), auditor, dan pelanggan (customer). Manfaat Traceability
dalam manajemen rantai suplai makanan sebagai berikut :
·
Mengendalikan insiden
keamanan pangan (food safety incidents): Produk dapat di tarik kembali (recall)
dengan mudah jika sumber material yang berbahaya dapat diidentifikasi dan
produk bermasalah dapat diisolasi dari rantai supplai
·
Memudahkan identifikasi
program monitoring residu pada titik kunci dalam mata rantai suplai hasil
perikanan.
·
Meningkatkan efisiensi
pabrik : meminimalkan kerugian pada waktu me-recall produk karena hanya
dilakukan pada produk yang rmasalah saja
·
Verifikasi asal produk
·
Chain of Custody : pemenuhan alur
informasi dan koleksi data dari hilir ke hulu
VI. PENERAPAN TRACEABILITY
DI RANTAI SUPLAI HASIL PERIKANAN
Dalam manajemen
rantai suplai hasil perikanan, masing – masing pelaku usaha yang terkait
seyogjanya harus bertanggung jawab terhadap mutu dan keamanan bahan pangan
dimana mereka memproduksi, memanen, menangani (di agen pemasok), pengangkutan/distribusi,
dan mengolah. Alur informasi dan koleksi data tentang bahan makanan dan
bahan-bahan tambahan dalam rantai bisnis ini harus mengalir secara transparan
dan absah bersamaan dengan alur suplai bahan makanan dan bahan tambahan
tersebut.
Masing – masing
pelaku usaha di rantai suplai tersebut harus mencatat apa yang mereka kerjakan
di selembar kertas atau disebut paper-based system atau dengan memakai
peralatan elektronik (mobile phone, laptop, komputer atau disebut electronic
– based system). Selanjutnya pelaku memelihara catatan setidaknya tentang 1)
nama, dan alamat pemasok serta jenis dan
kondisi bahan atau produk yang diperoleh darinya, 2) nama dan alamat pelanggan
(pembeli) serta jenis maupun kondisi bahan atau produk yang dipasok kepadanya
dan 3) tanggal setiap penerimaan atau penghantaran bahan atau produk. Dalam
sistem traceability hal ini biasa disebut sebagai pendekatan selangkah
kedepan–selangkah ke belakang (one step backward – one step foward approach).
Dalam penerapan internal
traceability system baik di unit pemasok (alur sederhana) atau di UPI
(alur/step yang kompleks), maka hal ini perlu manajemen alur informasi dan
koleksi data yang masing-masing unit usaha akan menggunakan kode atau ID
yang terdiri dari 4 prinsip sebagai berikut :
|
||||
|
||||
®
|
|
Transfer
data
|
®
|
|
|
Penambahan
data
|
|||||||||
|
|||||||||
® Penggabungan data
|
|||||
|
|||||
®
|
|
Pemisahan data
|
Gambaran secara
umum Rantai suplai hasil perikanan di Indonesia dapat diuraikan seperti gambar
dibawah ini :
6.1. Aspek-aspek Pengkodean
Prinsip yang harus dipegang
dalam melakukan kegiatan pengkodean pada sistem Traceability disetiap rantai supply hasil perikanan adalah harus
membuat nomor identifikasi yang jelas mengenai produk yang ditangani,
pencantuman serta pengiriman kode (nomor identitas) dan bila terjadi
penggabungan bath harus akurat serta
harus mencantumkan informasi yang perlu diketahui oleh konsumen.
Aturan dasar
pengkodean sistem Traceability harus
memenuhi beberapa ketentuan diantaranya; a. Sesuai dengan Standard Internasional; b. Kode tidak mudah
berubah; c. Dapat diaplikasikan kepada semua produk perikanan. Dalam membuat
dan mencantumkan pengkodean harus dapat mengidentitaskan tentang; Kode Asal
Usul Barang yang mencakup 5 kode : Kode: pertama Negara dengan referensi ISO
3166-1, kedua Propinsi dengan referensi ISO 3166-2,dan ketiga
Kabupaten/Kota dengan referensi BPS-RI, sedangkan tentang informasi Keamanan dan Mutu hasil perikanan mencakup:
Informasi lain memuat tentang lokasi, jenis, volume, nama pelaku, asal bahan
baku, nama kapal, nama perusahaan, dan waktu pelaksanaan.
6.2. Pengkodean Traceability
Untuk memudahkan
dan mengidentifikasi sistem traceability maka perlu dibuatkan kode
yang berbeda-beda diantara masing-masing unit usaha bidang perikanan yang
terdiri dari ; Kode Perikanan Budidaya dan Kode Perikanan Tangkap yang keduanya
memuat kategori asal-usul hasil perikanan dan informasi lain terkait data untuk
mendukung kemampuan telusur.
1. Kode
Traceability Perikanan Budidaya
Negara
|
|
I
|
D
|
Propinsi
|
|
J
|
I
|
Kabupaten
|
|
2
|
4
|
Kecamatan
|
|
0
|
1
|
Informasi lain
|
||||
3
|
2
|
5
|
8
|
0
|
|
|
2.
Kode Traceability
Perikanan Tangkap
FAO
|
|
7
|
1
|
Negara
|
|
I
|
D
|
Propinsi
|
|
J
|
I
|
WPPI
|
||
3
|
0
|
1
|
Pendaratan Ikan
|
||
0
|
1
|
3
|
Informasi lain
|
||||
5
|
8
|
8
|
3
|
0
|
|
||||||||||
|
|
|||||||||
6.3. Aplikasi Pengkodean
Traceability
6.3.1. Pengkodean Traceability di Unit Produsen Pembudidaya
Ikan/Udang Skala Kecil/Menengah
Pada setiap kode
produksi, para pembudidaya mampu memberikan informasi kepada Unit
Pengumpul/Unit Pemasok baik melalui sehelai kertas atau melalui handphone (SMS)
dengan menggunakan contoh kode traceability sebagai berikut :
|
JI = Kode Provinsi
24 =
Kode Kabupaten
01 =
Kode Kecamatan
3 = Kode Petak Kolam No.3
580 = Kode Panen Tanggal 5 bulan 8 tahun 2010
UT=
Jenis udang tiger
6.3.2. Unit Produsen Nelayan Skala Kecil/Menengah
Pada setiap kode
produksi, para nelayan mampu memberikan informasi kepada Unit Pengumpul/Unit
Pemasok melalui sehelai kertas atau handphone (SMS) dengan menggunakan contoh
kode traceability sebagai berikut
|
JI = Kode Provinsi
301 =
Kode WPPI I Laut Jawa
01 =
Kode Pendaratan Ikan
2 = Kode Nelayan
5 = Kode Panen Tanggal 5 bulan 8 tahun 2010
K = Jenis Ikan Kakap
6.3.3. Unit Pengumpul (Collecting Unit) atau Unit Pemasok
(Supplier Unit)
Dalam rantai suplai
hasil perikanan di Indonesia, unit pengumpul atau pemasok inilah yang berperan
sangat penting sebagai agen untuk memasok bahan baku hasil perikanan ke UPI
untuk proses pengolahan lebih lanjut. Para nelayan dan pembudidaya banyak
bergantung kepada pedagang/agen perantara ini. Begitu juga halnya UPI juga mengharapkan
pasokan bahan baku dari agen pengumpul tersebut. Namun, secara umum unit-unit ini
mungkin belum menerapkan traceability secara baik untuk mengetahui asal
usul bahan baku yang mereka suplai ke Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Penerapan alur
informasi dan koleksi data untuk traceability di unit-unit dapat menggunakan
prinsip transfer data, dan atau penggabungan data sebagaimana contoh sebagai
berikut :
® Penggabungan data bahan baku hasil perikanan tangkap :
®
|
Penggabungan data
pembelian bahan baku dari unit usaha budidaya tambak suplai ke UPI
6.3.4. Unit Pengolahan Ikan (UPI)
Dalam manajemen rantai suplai hasil
perikanan, UPI seharusnya memiliki tanggung jawab/komitmen dalam
menjamin mutu dan keamanan produk akhir serta penerapan kemampuan telusur (traceability)
secara konsisten melalui upaya membangun kerjasama dengan para supplier
(building alliances with suppliers) dalam rangka Approved Supplier melalui
prinsip moral bisnis. Dalam hal ini, UPI dituntut untuk wajib membina dan
menilai para supplier sampai mereka memenuhi persyaratan jaminan mutu dan
keamanan pangan. Selanjutnya unit supplier mendapatkan Approved Supplier
dari UPI, dan UPI lalu melakukan audit secara berkala dan evaluasi para supplier,
dan bukannya UPI hanya meminta surat garansi (letter of guarantee)
jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Apabila terjadi kasus penolakan
produk oleh otoritas kompeten di negara importir, maka UPI bersama unit supplier
yang akan bertanggung jawab atas terjadinya kasus penolakan.
Seperti diuraikan terdahulu bahwa alur
proses pengolahan ikan di UPI adalah sangat kompleks, oleh sebab itu implementasi
sistem Traceability untuk setiap batch (yang artinya dalam jumlah
kemasan, pallet, atau kontainer) produk di UPI mungkin akan menggunakan 3
prinsip yaitu penambahan, penggabungan, dan pemisahan data. Setiap UPI akan
merancang sendiri sistem pengkodean (ID) Traceability untuk setiap batch
produk. Dalam merancang Internal Traceability System di UPI yang
memiliki alur informasi dan koleksi data yang kompleks prinsip informasi, maka
manajemen UPI memerlukan persiapan dan tahapan sebagai berikut
a) Analisa sistem :
® Menetapkan
tim
® Menentukan
flow diagram
® Identifikasi
prosedur dan rekaman
® Konfirmasi
di lapangan
b) Assesmen Traceability di seluruh
tahapan proses : Menilai apakah sistem yang ada sudah menjamin bahwa seluruh
operasi di seluruh tahapan proses telah dapat direkam/dokumentasi
c) Prosedur Recall (menarik kembali)
–
Tim Manajemen Recall
–
Arsip Komplain dan daftar Recall contact
–
Melacak produk
–
Catatan Suplai dan distribusi
Contoh sistem dan data Traceability
di UPI yang melakukan usaha integrated atau kemitraan dengan unit usaha
budidaya (inti – plasma) baik pola intensif maupun tradisional :
Contoh kode produksi 1808905135 (traceability) di kemasan master karton untuk
setiap shift angkatan produksi pengolahan di UPI untuk produk udang hasil
budidaya :
18089
|
05
|
1
|
33
|
Diproduksi
tgl 18/08/2009
|
Basis Kode Kolam
|
Diproduksi
oleh pekerja shift 1
|
ID spesifik
produk
|
Contoh sistem dan data Traceability
di UPI yang melakukan usaha kemitraan dengan unit usaha penangkapan ikan
/nelayan (inti – plasma) atau dengan supplier :
|
Contoh kode produksi 1808903215 (traceability) di kemasan master karton untuk setiap
shift angkatan produksi pengolahan di UPI dari hasil perikanan tangkap
18089
|
03
|
2
|
15
|
Diproduksi tgl 18/08/2009
|
Basis Kode Unit Pemasok
|
Diproduksi oleh pekerja shift 2
|
ID spesifik produk
|
Selain UPI merancang sendiri Kode
Internal Traceability seperti diuraikan diatas, UPI dapat merancang Kode
Traceability secara keseluruhan dengan menambahkan asal usul bahan baku dengan menambahkan
kode Negara dan kode Provinsi.
VI. APPROVED
SUPPLIER PROGRAM
Approved Supplier adalah program
bagi UPI untuk menilai unit pengumpul atau unit pemasok bahan baku atau produk
perikanan dalam rangka mendukung penerapan HACCP di UPI. Dalam program ini UPI dapat menelusuri asal
usul bahan baku, alamat supplier/nelayan, wilayah penangkapan, sehingga
memudahkan bagi UPI untuk melakukan pembinaan atau audit secara berkala kepada
mengenai kepastian jaminan mutu dan keamanan bahan baku sesuai dengan penerapan
HACCP. Masing-masing UPI dapat membuat Prosedur Operasi Standar Approved
Supplier dan menerapkannya sesuai dengan program kerja.
VII. PENUTUP
Pedoman
kemampuan telusur (traceability) di rantai suplai hasil perikanan ini
diharapkan bermanfaat bagi para pelaku usaha di rantai suplai khususnya unit
pengumpul atau unit pemasok untuk menerapkan traceability melalui aktifitas
pencatatan informasi atau data secara seksama dan konsisten, dan pemeliharaan
catatan tersebut. Semua informasi atau data akurat terkait suplai bahan baku
atau produk hasil perikanan mengalir di rantai suplai dapat diakses oleh
Otoritas Kompeten atau pihak yang berkepentingan.