II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Bahan
Baku
Ikan tuna
termasuk dalam keluaraga Scombroidae yang
tergolong ikan perenang cepat, bertubuh seperti cerutu memiliki dua sirip
punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan
ini juga termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis cepat besar dan sebagian besar
memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet)
di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut
kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup
seluruh hipural. Sirip-sirip punggung dubur, perut dan dada pada pangkalnya
mempunyai lekukan pada tubuh (Saanin, 1986).
Menurut Ahira
(2010), Ikan Tuna adalah
ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari family Scombroidae,
terutama genus thunnus. Ikan ini adalah perenang handal (pernah diukur mencapai
77 km/jam), tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip punggung, sirip depan
yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini :
Gambar 2. Data Sekunder Ikan Tuna
Menurut Sanin (1984) klasifikasi ikan Tuna adalah
sebagai berikut :
Phylum :
Chordata
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species :
Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
Sub phylum : Vertebrata Thunnus
Class : Teleostei
Sub Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidae
Genus : Thunnus
Species :
Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus (Big eye Tuna)
2.1.1.
Komposisi Kimia Daging Tuna
Menurut
Murniyati dan Sunarman (2000), komposisi daging tuna bervariasi menurut jenis,
umur, kelamin dan musim. Perubahan yang nyata pada bagian tubuh yang satu
dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak dibawah kulit berubah menurut musim
dan umur. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding perut berfungsi
sebagai gudang lemak. Komposisi kimia daging ikan tuna dilihat pada Tabel 1
berikut ini :
Tabel 1. Komposisi kimia Daging Ikan Tuna (dalam % berat)
Spesies
|
Air
|
Protein
|
Lemak
|
KH
|
Abu
|
Bluefin
- Daging Merah
- Daging Berlemak
|
68,76
52,60
|
28,30
21,40
|
1,40
24,60
|
0,10
0,10
|
1,50
1,30
|
Southern
bluefin
-
Daging Merah
-
Daging Berlemak
|
65,60
63,90
|
23,60
23,10
|
9,30
11,60
|
0,10
0,10
|
1,40
1,30
|
Yellowfin
- Daging
Merah (akain)
|
74,20
|
22,20
|
2,10
|
0,10
|
1,40
|
Marlin
|
72,10
|
25,40
|
3,00
|
0,10
|
1,40
|
Skipjack
|
70,40
|
25,80
|
2,00
|
0,40
|
1,40
|
Mackerel
|
62,50
|
19,80
|
16,50
|
0,10
|
1,10
|
(Sumber
: Murniyati dan Sunarman, 2000)
Menurut Hadiwiyoto (1993), kerusakan
pada daging ikan bisa secara biokimiawi maupun secara mikrobiologi. Kerusakan
secara biokimiawi disebabkan karena enzim-enzim, sedangkan kerusakan secara
mikrobiologi disebabkan karena aktifitas mikroba, terutama bakteri. Dalam
sistem klasifikasi, ikan tuna termasuk dalam famili Scombroidae
yang banyak mengandung asam amino bebas histidin dalam dagingnya.
2.1.2.
Kandungan Gizi Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang memiliki nilai
komersial tinggi yang banyak diminati, baik di pasar lokal maupun
internasional. Ini dikarenakan selain rasanya yang lezat juga kandungan zat
gizinya yang mampu menyehatkan orang dewasa dan mencerdaskan anak-anak. Dilihat
dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang sangat luar biasa. Kadar
protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini
dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna
dan telur masing-masing 22 g dan 13 g, (Efendi, 2008).
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna
dapat
dilihat dalam Tabel 2 di bawah
ini.
Tabel 2. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp)
per 100 g daging
Jenis Ikan Tuna
|
||||
Komposisi
|
Bluefin
|
Skip Jack
|
Yellow Fin
|
Satuan
|
Energi
Protein
Lemak
Abu
Kalsium
Fosfor
Besi
Sodium
Retinol
Thiamin
Riboflavin
Niasin
|
121,0
22,6
2,7
1,2
8,0
190,0
2,7
90,0
10,0
0,1
0,06
10,0
|
131,0
26,2
2,1
1,3
8,0
220,0
4,0
52,0
10,0
0,03
0,15
18,0
|
105,0
24,1
0,1
1,2
9,0
220,0
1,1
78,0
5,0
0,1
0,1
12,0
|
Kal
g
g
g
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
|
(Sumber
: Maghfiroh, 2000)
2.1.3. Tingkat Kesegaran Ikan
Ikan
segar atau basah merupakan ikan yang belum diawetkan melainkan hanya menjaga
keadaan agar tetap segar yaitu mendinginkannya dengan menggunakan es (Murniyati
dan Sunarman, 2000).
Mutu
ikan dikatakan segar bila ciri-ciri fisiknya masih sama dengan keadaan ikan
yang masih hidup baik dari segi rupa, bau dan tekstur dagingnya. Mutu dari ikan
segar tidak dapat ditingkatkan tetapi hanya dapat dipertahankan agar tidak
terjadi kemunduran mutu (Junianto, 2003).
Ikan tuna segar sendiri adalah ikan
tuna yang kondisinya dipertahankan segar dengan cara pendinginan yang tidak
membeku, sehingga kualitasnya masih sama atau mendekati keadaan ikan yang baru
ditangkap.
Menurut (Junianto, 2003) ciri-ciri
ikan tuna segar adalah sebagai berikut:
a.
Bentuk
ikan masih seperti ikan yang baru ditangkap atau tanpa cacat fisik
b.
Warna kulit kehijauan sesuai dengan jenis ikannya
c.
Mata
menonjol dan jernih
d.
Tekstur daging kenyal dan insang berwarna merah
2.2.Ruang Lingkup Pengalengan
2.2.1.
Pengawetan dan Pengolahan
Menurut
Moeljanto (1992), dasar pengawetan atau pengolahan ikan adalah mempertahankan
kesegaran dan mutu ikan selama dan sebaik mungkin. Hampir semua cara pengolahan
atau pengolahan ikan meninggalkan sifat-sifat khusus pada setiap hasil awetan
atau olahannya. Hal ini disebabkan oleh berubahnya sifat-sifat, bau (odour), cita rasa (flavor), wujud atau rupa (appearance),
dan tekstur (texture) daging ikan.
Pengawetan
atau pengolahan ikan juga bertujuan untuk menghambat atau menghentikan kegiatan
zat-zat dan mikroorganisme yang dapat
menimbulkan pembusukan (kemunduruan mutu) dan kerusakan. Jadi, pada dasarnya
pengawetan atau pengolahan ikan bertujuan melindungi ikan dari pembusukan atau
kerusakan karena perubahan yang disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme (jasad renik) dan perubahan-perubahan lain yang
merugikan. Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan enzim (autolisa) dan bakteri-bakteri pembusuk yang terdapat di dalam badan
ikan. Perubahan serupa inilah yang harus dihentikan atau setidak-tidaknya
dihambat, agar ikan dan hasil perikanan lainnya tidak rusak atau busuk sebelum
diolah atau diawetkan dan diangkut ke pasar serta dibeli oleh konsumen.
2.2.2.
Pengertian dan Prinsip Pengalengan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), pengalengan ikan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam
kaleng. Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas.
Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet ikan kalengan adalah :
a. Sterilisasi
yang mematikan seluruh bakteri dalam isian kaleng
b. Kaleng
yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan di luar
Bahan
mentah yang dipakai terutama adalah ikan segar atau ikan basah. Selain itu,
pengalengan juga dapat dilakukan pada ikan beku dan ikan asap. Bahan mentah
untuk pengalengan harus dipilih yang betul-betul baik. Ikan yang kurang segar
akan menimbulkan banyak kesulitan dalam bahan
pengolahan dan mengurangi daya awetnya.
Pengawetan
makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara pengolahan untuk
menyelamatkan bahan makanan dari proses pembusukan. Dalam proses pengalengan,
ikan dimasukkan ke dalam suatu wadah (container)
yang ditutup rapat supaya udara dan zat-zat atau organisme perusak atau
pembusuk tidak dapat masuk. Kemudian
wadah dipanasi sampai suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula guna
mematikan mikroorganisme seperti
jamur, ragi, bakteri, enzim termasuk spora yang terbentuk. Setidak-tidaknya
mikroorganisme ini dihambat perkembangannya (Moeljanto, 1992).
2.3.
Pengadaan Bahan Baku
Menurut Pakpahan (2009), setiap perusahaan yang menyelenggarakan
kegiatan produksi akan memerlukan persediaan bahan baku. Dengan tersedianya persediaan bahan baku maka
diharapkan perusahaan industri dapat melakukan proses produksi sesuai kebutuhan
atau permintaan konsumen. Selain itu dengan adanya persediaan bahan baku yang cukup
tersedia di gudang juga diharapkan dapat memperlancar kegiatan produksi
pelayanan kepada konsumen perusahaan dan dapat menghindari terjadinya
kekurangan bahan baku. Keterlambatan jadwal pemenuhan produk yang dipesan konsumen dapat merugikan perusahaan dalam
hal ini image yang kurang baik.
2.4.
Proses Pengalengan Ikan Tuna
2.4.1. Persiapan Wadah Kaleng
Menurut Adawyah (2007), di dalam pengalengan suatu produk
penting diperhatikan untuk selalu menggunakan jenis kaleng yang sesuai produk,
dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perubahan warna. Kaleng-kaleng yang
akan digunakan hendaknya diperiksa solderannya, adanya karat atau cacat
lainnya, misalnya lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang telah cacat hendaknya
jangan digunakan.
Kaleng yang baik kemudian dicuci
dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng
jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup
kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung
plastik
atau dipak dalam
karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air.
Jenis kaleng yang digunakan untuk
pengalengan ikan tuna harus bersifat tahan terhadap korosi, terutama pada
bagian dalam (yang kontak dengan produk). Salah satu cara untuk mencegah
terjadinya korosi pada kaleng adalah dengan melapisi kaleng dengan enamel.
Enamel sendiri merupakan bahan organik yang dilapiskan pada kaleng untuk
melindungi dari korosi dan juga untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontak antara
bahan makanan dengan kaleng yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna
pada produk pangan. Enamel yang biasa digunakan pada kaleng ikan adalah jenis
non metal, seperti fenolik dan epoksi fenolik (Choles,dkk, 2003).
2.4.2.
Penerimaan Bahan Baku
Menurut SNI 01-2712.2 (1992), setiap bahan
baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik
dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang
tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar
harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum
5°C. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses
penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25°C. Bahan
baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya
harus disimpan pada suhu chilling (0°C).
Untuk bahan
baku harus dilakukan thawing sebelum
diproses untuk menghilangkan lapisan es pada ikan. Menurut Akbarsyah
(2006), pada proses thawing bak harus
diisi air yang bertujuan untuk mencegah kerusakan fisik pada ikan, pada saat
ikan yang dijatuhkan di dalam bak thawing.
2.4.3.
Pencucian dan Penyiangan
Menurut
Moeljanto (1992), pencucian dan
penyiangan ikan
tuna pada
proses pengalengan antara lain :
Isi perut dan
bagian-bagian yang tidak dikalengkan (kepala, sirip-sirip, ekor, dan daging
bagian perut) untuk jenis ikan tertentu seperti tuna dipisahkan.
a. Pada
pengalengan ikan-ikan besar seperti tuna, duri dan tulang-tulangnya harus
dibuang. Kepala dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan. Untuk
ikan yang bersisik lebih dulu sisiknya dibuang, terutama untuk ikan yang besar.
b. Setelah
disiangi, ikan dicuci sebersih-bersihnya. Pencucian dapat dilakukan dengan
tangan, kalau perlu disikat atau disemprot dengan air. Air pencuci sebaiknya
mempunyai mutu seperti air minum karena bila mutunya diragukan akan menjadi
sumber pengotoran serta pembusukan. Persediaan air bersih cukup banyak. Ikan
segar dapat juga dicuci dengan brine
encer. Pencelupnya ke dalam brine
akan membantu melarutkan sisa-sisa darah dan lendir, juga tekstur daging
menjadi lebih kompak dan rasanya lebih enak. Sebelum disiangi, jangan terlalu
lama ikan terendam dalam air hingga menjadi lembek. Penyiangan dan pencucian
bahan mentah harus diawasi baik-baik sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.
Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan besarnya kerugian-kerugian
akibat pembusukan dan kerusakan fisik. Sampah dan sisa-sisa isi perut segera
dibersihkan kembali, termasuk ruangan yang kotor merupakan sumber bakteri
pembusuk maupun bakteri-bakteri
patogen.
2.4.4.
Penggaraman
Menurut Moeljanto (1992), penggaraman atau brining selain bermanfaat untuk
menghilangkan sisa-sisa darah dan lendir pada ikan atau memperbaiki tekstur
daging, juga untuk mempertahankan cita rasa asli ikan. Penggaraman dilakukan
secara langsung dengan menaburkan garam atau dengan merendam ikan dalam brine sebelum pengalengan.
Menurut Adawyah (2007) dalam pembuatan brine harus dipakai
garam murni atau setidak-tidaknya kotoran dalam garam kurang dari 1% (misalnya garam-garam
magnesium, garam kalsium), tanpa kotoran-kotoran lain seperti debu atau lumpur.
Kristal garamnya harus halus. Bila kotoran lebih dari 1%, maka akan terjadi
perubahan-perubahan yang merugikan. Misalnya, adanya unsur besi (Fe) dalam
garam dapur menyebabkan brine menjadi berwarna (seharusnya jernih) dan
menimbulkan endapan dalam kaleng; selama perebusan dan sterilisasi garam-garam
Ca menyebabkan terjadinya endapan putih sehingga daging ikan dalam kaleng
mengeras; adanya Na-sulfat dan Mg-sulfat yang berlebihan mengakibatkan rasa
agak pahit.
2.4.5.
Pengukusan Pendahuluan (Precooking)
Menurut
Moeljanto (1992), apabila daging dipanasi, maka sebagian air yang dikandungnya
(yang berasal dari protein daging) akan
keluar. Pada ikan tuna misalnya, air yang keluar kurang lebih 17,5%
sedangkan pada sardine kurang lebih 19-34%. Hal ini tergantung pada kandungan
lemaknya. Apabila semua air yang keluar itu tertampung di dalam kaleng (setelah
kaleng ditutup), maka saus atau mediumnya menjadi lebih encer. Bila
medium/sausnya berupa minyak, maka setelah proses sterilisasi saus minyak akan
tercampur air. Sebab itu, kikan harus dikukus dan air di dalam kaleng dibuang
sebelum kaleng ditutup. Caranya yaitu dengan meniriskan atau mengukus ikan sebelum
dipotong-potong.
Menurut SNI 01-2712.2 (1992), ikan tuna yang telah disiapkan dalam
rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam).
Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan,
namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging
ikan) dengan suhu pemasakan 100° - 105° C.
2.4.6. Pemisahan Daging Merah dan Daging Putih
Menurut
Effendi (2008), dalam
pemprosesan pengalengan ikan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan
daging saat sebelum pengisian dalam kaleng. Ikan tuna dipilih daging yang putih
dan dihilangkan daging merahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari
kemungkinan pencemaran daging yang nantinya akan dikalengkan oleh Histamin.
Histamin sendiri merupakan senyawa nitrogen organik terlibat dalam respon imun
lokal serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan juga bertindak sebagai
pengirim reaksi dalam sitem kerja tubuh. Histamin memicu respon protektif.
Sebagai bagian dari respon kekebalan terhadap patogen asing. Histamin memiliki
khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan pelebaran
pembuluh darah yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan penciutan dari
vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah.
Akbarsyah (2006), daging ikan yang
telah melalui proses open atau precook menjadi
lunak sehingga mudah untuk memisahkan tulang tengah dengan daging.
Menurut
Moeljanto (1992), pisau yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus
untuk memisahkan dan membersihkan loin dari daging merah atau kehitaman. Seekor
ikan dibelah menjadi empat potong dengan tangan kemudian dikukus. Akibat
pengukusan itu,
daging ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan
kepalanya sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang
menempel dipisahkan,
kulit yang berwarna hitam kelabu (bila belum dibersihkan) disisir dengan pisau
sampai bersih.
2.4.7. Pengisian Ikan di dalam Kaleng
Menurut
Effendi (2008), besarnya ikan yang akan dimasukkan dalam kaleng
disesuaikan dengan ukuran kaleng. Ikan tuna berukuran besar biasanya dikemas
dalam kaleng berbentuk oval, sedangkan ikan
dengan berukuran kecil dikemas dalam kaleng berbentuk oval kecil. Pada waktu
pengisian harus diperhatikan agar masih terdapat ruangan kosong di bagian atas
kaleng (head space), sehingga pada waktu proses exhausting (penghampaan)
masih ada tempat untuk pengembangan isi kaleng. Isi yang terlalu penuh akan
menyebabkan kaleng menjadi cembung, yang meskipun tidak menyebabkan kebusukan
tetapi akan menurunkan mutunya karena disangka buruk, selain dari pada head
space berguna untuk merapatkan penutupan kaleng.
Menurut Moeljanto (1992), dari tuna loin dan serpihan-serpihan
daging putih dihasilkan beberapa golongan daging. Cara pengisiannya ke dalam
kaleng juga ada beberapa pengemasan khusus, yaitu :
a.
Solid
pack
Potongan-potongan
loin yang utuh, besar dan kompak diisikan ke dalam kaleng; sedapat mungkin
dalam satu kaleng hanya berisi satu sampai tiga potong daging tanpa
serpihan-serpihan daging.
b.
Chunk
pack
Tuna
loin atau serpihan-serpihan daging putih yang besar-besar diiris dengan ukuran
tertentu. Setelah dimasukkan ke dalam kaleng lalu ditekan-tekan hingga mencapai
berat dan ketinggian yang sudah ditentukan.
c.
Flake
pack
Sama
dengan chunk pack, tetapi ukuran potongan-potongan daging tidak seragam.
d.
Grated
pack
Sebelum
daging diisikan ke dalam kaleng, digiling lebih dulu, dan pengisiannya agak
dipadatkan untuk memenuhi berat netto dan celah pemisah yang telah ditentukan.
Dalam
pengisian, kaleng tidak diisi penuh, melainkan disisakan ruang kosong pada
bagian atas kaleng ±1 cm. ruangan ini disebut head space, yang berguna untuk menyediakan ruang yang cukup untuk
pemuaian isi kaleng pada waktu sterilisasi, sehingga tidak merusak kaleng
(Murniyati dan Sunarman 2000).
2.4.8.
Metal Detector
Nanang (2011),
Sebuah detektor logam
adalah perangkat yang merespon logam yang mungkin tidak mudah terlihat. Detektor
logam juga digunakan untuk mendeteksi benda asing dalam makanan, dan industri konstruksi untuk mendeteksi baja tulangan
dalam beton dan pipa dan kabel dimakamkan di dinding dan lantai.
2.4.9.
Penambahan Medium
Didalam pengalengan terdapat medium
yang digunakan sebagai medium untuk mengurangi resistensi terhadap kaleng dan
organisme pembusuk.
Medium yang
dapat digunakan antara lain :
a. Medium asam
Pada medium asam ini dapat
menggunakan sari tomat dengan asam sitrat, laktat atau asetat untuk mengubah
resistensi Bacillus thermoacidurans
terhadap panas.
b. Medium Gula
Beberapa peneliti menduga bahwa
larutan gula dapat menaikkan resistensi spora dengan terjadinya dehidrasi
parsial protoplasma sel, melindungi protein dari koagulasi.
c. Medium garam
Garam dalam larutan (sampai empat
persen) dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan tetapi kadar
yang lebih tinggi (8 persen atau lebih)
menurunkan resistensi spora terhadap pemanasan.
d. Medium Lemak
Lemak atau minyak mempunyai daya
menghambat dalam usaha mematikan spora bakteri dengan pemanasan lembab serta
berperan sebagai agensia penyedap dan memiliki daya mengawetkan.
Menurut Moeljanto (1992), apabila sebagai saus/medium adalah
brine, maka airnya harus berstandar air minum. Sedangkan garamnya juga harus
semurni mungkin (kadar NaCl kalau bisa 99,9%). Kepekaan brine biasanya sekitar
3% atau dapat ditambahnkan sebagai pellet (pill) garam. Pemakaian brine, selain
memberikan rasa yang lebih enak, juga dapat memperbaiki tekstur daging dan
memberikan warna yang mengkilap pada kulit ikan.
Menurut Adawyah (2007), air yang akan digunakan untuk
membuat larutan garam harus bebas kalsium dan magnesium. Di dalam beberapa hal
diperlukan untuk memanaskan air terlebih dahulu, kemudian dibiarkan mengendap
dan disaring. Larutan garam dibuat dengan cara menambahkan sejumlah garam ke
dalam air, biasanya larutan garam 2% dapat digunakan untuk sebagian besar
produk kalengan. Di dalam pembuatan larutan garam tersebut sebaiknya digunakan
wadah stainless steel atau tangki
yang dilapisi gelas/plastik untuk mencegah terjadinya korosi pada metal.
Larutan garam yang digunakan dalam pengalengan harus
dipanaskan sampai mendidih dan kemudian ditambahkan ke dalam wadah
(kaleng/gelas) yang sudah berisi produk. Sebagian industri pengalengan yang
besar, kadang-kadang menggunakan juga garam berbentuk tablet. Tablet garam
tersebut ditaruh di atas produk di dalam wadah, kemudian ditambahkan air
mendidih ke dalam wadah tersebut (Adawyah,2007).
2.4.10.
Penghampaan Udara
Menurut Adawyah (2007), sebagian besar
oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam wadah sebelum
operasi penutupan. Di dalam wadah yang sudah ditutup tidak diinginkan adanya
oksigen, karena gas itu dapat bereaksi dengan bahan pangan atau bagian dalam
kaleng sehingga akan mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk
kalengan. Penghampaan
udara juga berguna untuk memberikan ruangan bagi pengembangan
produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan produk
dari dalam dapat dihindarkan, juga berguna untuk menaikkan suhu produk di dalam
wadah sampai mencapai suhu awal (initial
temperature).
Head space
adalah ruang di antara tutup wadah dengan permukaan produk. Besarnya bervariasi
tergantung pada jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam
kaleng, tingginya sekitar 0,25 inchi, sedangkan bila wadah yang digunakan
adalah gelas jars, direkomendasikan head
space yang lebih besar. Besarnya head
space dalam wadah sangat penting diperhatikan, apabila terlalu kecil akan
menyebabkan pecahnya wadah akibat ekspansi (pengembangan) produk selama proses
sterilisasi. Apabila head space
terlalu besar, sejumlah kecil udara akan terperangkap dalam kaleng sehingga
akan mengakibatkan terjadinya oksidasi dan perubahan warna produk.
2.4.11. Penutupan Kaleng
Menurut
Moeljanto (1992), cara menutup kaleng adalah dengan memasang tutup di atas
badan kaleng, lalu melipat ujungnya secara rapi (sealing). Dapat juga dengan memutar tutupnya bila wadah terbuat
dari kaleng atau gelas, seperti aluran sekrup. Supaya rapat, biasanya dibagian
dalam tutup diberi sebuah karet. Penutupan kaleng dilakukan dengan mesin
penutup (sealing machine). Ada juga
yang disebut double seamer sebab
proses penutupan kaleng terjadi dua kali (rol pertama dan rol kedua).
Mesin penutup kaleng hampa udara
(vacuum seaming machine) apalagi yang
otomatis biasa digunakan oleh pabrik pengalengan yang besar. Prinsipnya
adalah menarik oksigen dan gas-gas lain dari dalam kaleng dan kemudian segera
dilakukan penutupan wadah (Moeljanto, 1992).
2.4.12. Pemanasan (Sterilisasi)
Menurut
Moeljanto (1992), ikan dan makanan lain yang berkadar asam rendah, cara
pengawetannya dimasukkan ke dalam kaleng/botol untuk diproses pada suhu
115º-120º C (240º -250º F), yaitu dengan memasukkannya ke dalam retort atau pressure cooker yang tahan tekanan 1-2
atm.
Menurut Adawyah (2007), sterilisasi atau lebih dikenal
dengan istilah processing adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan
makanan. Processing tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk
dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak,
yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang
diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan harus dilakukan pada suhu yang
cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga
membuat produk menjadi terlalu masak.
Makanan yang berasam rendah dengan pH di atas 4,5
memerlukan pemanasan yang lebih kuat dibandingkan dengan makanan yang bersifat
asam dan berasam tinggi. Ikan memiliki pH mendekati netral, yaitu 6,8 biasanya diproses
dengan suhu 121oC dengan waktu tergantung pada cepat lambatnya
perambatan panas untuk mencapai titik terdingin makanan dalam kaleng, serta
daya tahan mikroba yang mengkontaminasi makanan.
2.4.13.
Pendinginan (cooling)
Pendinginan
dapat dilakukan dengan
memasukkan keranjang berisi kaleng panas ke dalam bak air. Cara lain adalah
dengan memasukkan air dingin ke dalam retort setelah selesai pemprosesan.
Sebelum dimasukkan kedalam air dingin, biasanya kaleng dicuci dengan air sabun
yang hangat (Moejanto, 1992).
Menurut Adawyah (2007), wadah harus cepat didinginkan segera
setelah proses sterilisasi selesai, dengan tujuan untuk memperoleh keseragaman
(waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir.
Apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk cenderung terlalu
masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya. Selain itu, selama produk
berada pada suhu antara suhu ruang dan suhu proses, pertumbuhan spora bakteri
tahan panas akan distimulir. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan
bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan
mati.
2.4.14.
Pemasangan Label (labeling)
Setelah
dingin kaleng diberi label sesuai dengan keinginan produsen, pemberian label
ditujukan untuk mengetahui bahan yang digunakan dan untuk mengetahui kapan
waktu produksi sehingga dapat menentukan masa kadaluarsannya, dan tentunya
dengan pemberian label produk akan dikenal masyarakat (Adawyah, 2007).
Agar
hasil pengalengan (iklan), dapat laku dan tersebar luas pasarnya, maka perlu
pemasangan label yang direncanakan dengan baik dan dengan baik dan dengan cap (merk=brand) yang terkenal, besar sekali
pengaruhnya. Bentuk gambar, susunan huruf dan kombinasi warna harus menarik dan
jelas tetapi sederhana. Cap dan gambar sebaiknya jangan
terlalu panjang dan rumit, supaya pembeli mudah mengingatnya (Moeljanto, 1992).
2.4.15. Penyimpanan
Suhu penyimpanan
sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng. Suhu yang terlalu tinggi dapat
meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang dikandung
oleh bahan, akibatnya akan menyebabkan
terjadi reaksi kimia. Selain itu, juga akan memacu pertumbuhan bakteri yang
pada saat proses sporanya masih dapat bertahan.
Untuk mencegah
timbulnya karat pada bagian luar kaleng atau tumbuhnya jamur, kelembaban ruang
penyimpanan
hendaknya diatur serendah mungkin. Bahan yang menggunakan gelas jars harus
dihindari dari cahaya, karena dapat menurunkan mutu beberapa produk makanan
kaleng akibatnya dari perubahan warna dan rusaknya beberapa macam vitamin
(Adawyah, 2007).
Eko, H.R dan Teuku Muamar (2007), uji pemeraman dilakukan untuk
mengetahui kesempurnan sterilsasi.
2.5. Sanitasi dan Higiene
Sanitasi dan Higiene didefinisikan
sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya
pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh
makanan (foodborne illness atau foodborne disease) serta mencakup usaha
perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang mencakup juga perlindungan
kesehatan akibat pekerjaan (Rina, 2007).
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam sanitasi dan higiene adalah:
2.5.1. Sanitasi dan Higiene Bahan Baku
Pendapat dari Wibowo (2003), akibat
kecerobohan, tergesa-gesa atau sembrono, sehingga ikan ada yang terluka,
terkelupas kulit/sisiknya, terkena benda tajam dan lain-lain. Luka apapun yang
dialami ikan, akan mudah sekali menyebabkan cepat terjadinya kebusukan, sebab
memberikan peluang bagi kuman-kuman menjalankan peranannya. Baik kuman dari
luar, maupun yang sudah hinggap di badan ikan.
Bahan baku yang
digunakan adalah tuna, dimana tuna tersebut dapat dengan mudah terkontaminasi
oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari lingkungan hidupnya (air laut)
maupun selama transportasi dari laut sampai ke pabrik melakukan penanganan
selama proses pengolahan berlangsung untuk mengurangi jumlah mikroorganisme
yang terdapat pada ikan Tuna ( Yunita, 2012).
2.5.2.
Sanitasi dan Higiene Bahan Pembantu
Bahan
tambahan yang digunakan adalah air dan es. Menurut Purnawijayanti (2001), Air
yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air
yang dapat diminum, diantaranya:
a.
Bebas
dari bakteri berbahaya serta
bebas dari ketidak murnian kimiawi
b.
Bersih
dan jernih
c.
Tidak
berwarna dan tidak berbau
d.
Tidak
mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)
e.
Menarik
dan menyenangkan untuk diminum
Menurut
Imesh (2012), ikan yang dijual dalam keadaan segar selalu membutuhkan suhu yang
dingin sehingga mutu ikan
yang dijual dapat dipertahankan. Es merupakan cara yang paling umum digunakan,
karena selain murah, es juga mudah didapatkan. Es yang dipergunakan harus
berasal dari air yang bersih dan kualitasnya terjamin. Untuk hasil yang lebih
baik, es yang digunakan harus berasal dari air yang siap minum. Sebaiknya es yang digunakan untuk
menjaga suu ikan sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu, sehingga proses
perpindahan suhu terjadi secara lebih efektif.
2.5.3. Sanitasi
dan Higiene Peralatan
Wibowo
(2003), menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara
sanitasi dan higiene pada peralatan adalah sebagai berikut:
a. Tempat pencucian ikan dikosongkan jika
tidak digunakan dan dibersihkan dengan desinfektan yang cocok.
b. Semua wadah yang kontak langsung
dengan ikan harus dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.
Menurut Adawyah (2007), kaleng
yang baik kemudian dicuci dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan
air bersih. Tutup kaleng jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup
kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung
plastik
atau dipak dalam
karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air.
2.5.4. Sanitasi dan Higiene Ruang Proses
Menurut
Wibowo (2003), sanitasi dan higiene pada ruang proses adalah sebagai berikut:
a. Lantai ruang pengolahan dan fasillitas
lain hendaknya disemen dengan bahan yang tidak berbahaya dan mudah dibersihkan.
b. Lantai, ruang pengolahan, dan
peralatan dibersihkan setiap hari atau setelah akhir proses.
c. Membatasi kesempatan bagi lalat,
serangga lain, dan rodensia untuk masuk ke ruang pengolahan, misalnya dengan
memasang kawat kasa pada pintu masuk dan jendela, memasang jeruji baja pada
saluran pembuangan air, menutup tempat sampah dan sebagainya.
d. Permukaan dinding dibuat dari bahan
yang kuat, halus, kering dan tidak menyerap air serta mudah dibersihkan,
sehingga tidak mudah ditumbuhi oleh jamur atau kapang yang akan mengotori
dinding dan tempat berkumpulnya kuman.
2.5.5. Sanitasi dan Higiene Karyawan
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan
untuk menjaga sanitasi dan higiene karyawan dijelaskan oleh Wibowo (2003)
sebagai berikut:
a. Selalu menjaga kebersihan badan
b. Membiasakan diri bekerja dengan baik,
disiplin, dan mengikuti prosedur yang berlaku.
c.
Mengenakan
pakaian kerja/celemek
lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan dan sepatu kerja. Pakaian dan
perlengkapan hanya dipakai untuk bekerja
d. Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan
mengolah pangan sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan
sesudah ke luar dari toilet/ jamban.
e.
kesehatan karyawan harus diperiksa secara periodik agar
tidak ada seorang karyawan menderita penyakit yang dapat ditularkan melalui
makanan.
Purnawijayanti (1999), yang
menyatakan bahwa kebiasaan tangan dari pekerja mempunyai andil yang besar dalam
peluang melakukan perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan.
assalamualaikum Wr.Wb
BalasHapusigin thau sumbernya dari mana saja ya untuk refrensinya misalkan dari literatur mana ya soalnya saya sangat butuh materi ini mohon bantuannya