Selasa, 13 Mei 2014

Pengalengan Ikan Tuna

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Bahan Baku
Ikan tuna termasuk dalam keluaraga Scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat, bertubuh seperti cerutu memiliki dua sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Ikan ini juga termasuk ke dalam kelompok ikan pelagis cepat besar dan sebagian besar memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh hipural. Sirip-sirip punggung dubur, perut dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh (Saanin, 1986).
Menurut Ahira (2010), Ikan Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari family Scombroidae, terutama genus thunnus. Ikan ini adalah perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam), tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini :




Gambar 2. Data Sekunder Ikan Tuna




Menurut Sanin (1984) klasifikasi ikan Tuna adalah sebagai berikut :
Phylum          : Chordata
Sub phylum   : Vertebrata Thunnus
Class            : Teleostei
Sub Class     : Actinopterygii
Ordo              : Perciformes
Sub ordo       : Scombroidae
Genus           : Thunnus
Species :
Thunnus alalunga (Albacore)
Thunnus albacores
(Yellowfin Tuna)
Thunnus macoyii
(Southtern Bluefin Tuna)
Thunnus obesus
(Big eye Tuna)
2.1.1. Komposisi Kimia Daging Tuna
            Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), komposisi daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan musim. Perubahan yang nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak dibawah kulit berubah menurut musim dan umur. Lemak yang paling banyak terdapat pada dinding perut berfungsi sebagai gudang lemak. Komposisi kimia daging ikan tuna dilihat pada Tabel 1 berikut ini :





Tabel 1. Komposisi kimia Daging Ikan Tuna (dalam % berat)
Spesies
Air
Protein
Lemak
KH
Abu
Bluefin
- Daging Merah
- Daging Berlemak

68,76
52,60

28,30
21,40

1,40
24,60

0,10
0,10

1,50
1,30
Southern bluefin
- Daging Merah
- Daging Berlemak

65,60
63,90

23,60
23,10

9,30
11,60

0,10
0,10

1,40
1,30
Yellowfin
- Daging Merah     (akain)

74,20

22,20

2,10

0,10

1,40
Marlin
72,10
25,40
3,00
0,10
1,40
Skipjack
70,40
25,80
2,00
0,40
1,40
Mackerel
62,50
19,80
16,50
0,10
1,10
(Sumber : Murniyati dan Sunarman, 2000)
Menurut Hadiwiyoto (1993), kerusakan pada daging ikan bisa secara biokimiawi maupun secara mikrobiologi. Kerusakan secara biokimiawi disebabkan karena enzim-enzim, sedangkan kerusakan secara mikrobiologi disebabkan karena aktifitas mikroba, terutama bakteri. Dalam sistem klasifikasi, ikan tuna termasuk dalam famili Scombroidae yang banyak mengandung asam amino bebas histidin dalam dagingnya.
2.1.2. Kandungan Gizi Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi yang banyak diminati, baik di pasar lokal maupun internasional. Ini dikarenakan selain rasanya yang lezat juga kandungan zat gizinya yang mampu menyehatkan orang dewasa dan mencerdaskan anak-anak. Dilihat dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang sangat luar biasa. Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 22 g dan 13 g, (Efendi, 2008).
Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna  dapat  dilihat  dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g  daging
Jenis Ikan Tuna
Komposisi
Bluefin
Skip Jack
Yellow Fin
Satuan
Energi
Protein
Lemak
Abu
Kalsium
Fosfor
Besi
Sodium
Retinol
Thiamin
Riboflavin
Niasin
121,0
22,6
2,7
1,2
8,0
190,0
2,7
90,0
10,0
0,1
0,06
10,0
131,0
26,2
2,1
1,3
8,0
220,0
4,0
52,0
10,0
0,03
0,15
18,0

105,0
24,1
0,1
1,2
9,0
220,0
1,1
78,0
5,0
0,1
0,1
12,0
Kal
g
g
g
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
mg
(Sumber : Maghfiroh, 2000)
2.1.3.    Tingkat Kesegaran Ikan
Ikan segar atau basah merupakan ikan yang belum diawetkan melainkan hanya menjaga keadaan agar tetap segar yaitu mendinginkannya dengan menggunakan es (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Mutu ikan dikatakan segar bila ciri-ciri fisiknya masih sama dengan keadaan ikan yang masih hidup baik dari segi rupa, bau dan tekstur dagingnya. Mutu dari ikan segar tidak dapat ditingkatkan tetapi hanya dapat dipertahankan agar tidak terjadi kemunduran mutu (Junianto, 2003).
Ikan tuna segar sendiri adalah ikan tuna yang kondisinya dipertahankan segar dengan cara pendinginan yang tidak membeku, sehingga kualitasnya masih sama atau mendekati keadaan ikan yang baru ditangkap.
            Menurut (Junianto, 2003) ciri-ciri ikan tuna segar adalah sebagai berikut:
a.    Bentuk ikan masih seperti ikan yang baru ditangkap atau tanpa cacat fisik
b.    Warna kulit kehijauan sesuai dengan jenis ikannya
c.    Mata menonjol dan jernih
d.    Tekstur daging kenyal dan insang berwarna merah

2.2.Ruang Lingkup Pengalengan
2.2.1. Pengawetan dan Pengolahan
Menurut Moeljanto (1992), dasar pengawetan atau pengolahan ikan adalah mempertahankan kesegaran dan mutu ikan selama dan sebaik mungkin. Hampir semua cara pengolahan atau pengolahan ikan meninggalkan sifat-sifat khusus pada setiap hasil awetan atau olahannya. Hal ini disebabkan oleh berubahnya sifat-sifat, bau (odour), cita rasa (flavor), wujud atau rupa (appearance), dan tekstur (texture) daging ikan.
Pengawetan atau pengolahan ikan juga bertujuan untuk menghambat atau menghentikan kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan pembusukan (kemunduruan mutu) dan kerusakan. Jadi, pada dasarnya pengawetan atau pengolahan ikan bertujuan melindungi ikan dari pembusukan atau kerusakan karena perubahan yang disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme (jasad renik) dan perubahan-perubahan lain yang merugikan. Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan enzim (autolisa) dan bakteri-bakteri pembusuk yang terdapat di dalam badan ikan. Perubahan serupa inilah yang harus dihentikan atau setidak-tidaknya dihambat, agar ikan dan hasil perikanan lainnya tidak rusak atau busuk sebelum diolah atau diawetkan dan diangkut ke pasar serta dibeli oleh konsumen.

2.2.2. Pengertian dan Prinsip Pengalengan
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), pengalengan ikan adalah  cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam kaleng. Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas. Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet ikan kalengan adalah :
a.    Sterilisasi yang mematikan seluruh bakteri dalam isian kaleng
b.    Kaleng yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan di luar
Bahan mentah yang dipakai terutama adalah ikan segar atau ikan basah. Selain itu, pengalengan juga dapat dilakukan pada ikan beku dan ikan asap. Bahan mentah untuk pengalengan harus dipilih yang betul-betul baik. Ikan yang kurang segar akan menimbulkan banyak kesulitan dalam bahan  pengolahan dan mengurangi daya awetnya.
Pengawetan makanan dalam kaleng diartikan sebagai suatu cara pengolahan untuk menyelamatkan bahan makanan dari proses pembusukan. Dalam proses pengalengan, ikan dimasukkan ke dalam suatu wadah (container) yang ditutup rapat supaya udara dan zat-zat atau organisme perusak atau pembusuk tidak dapat masuk.  Kemudian wadah dipanasi sampai suhu tertentu dalam jangka waktu tertentu pula guna mematikan mikroorganisme seperti jamur, ragi, bakteri, enzim termasuk spora yang terbentuk. Setidak-tidaknya mikroorganisme ini dihambat perkembangannya (Moeljanto, 1992).

2.3. Pengadaan Bahan Baku
Menurut Pakpahan (2009), setiap perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan produksi akan memerlukan persediaan bahan baku. Dengan tersedianya persediaan bahan baku maka diharapkan perusahaan industri dapat melakukan proses produksi sesuai kebutuhan atau permintaan konsumen. Selain itu dengan adanya persediaan bahan baku yang cukup tersedia di gudang juga diharapkan dapat memperlancar kegiatan produksi pelayanan kepada konsumen perusahaan dan dapat menghindari terjadinya kekurangan bahan baku. Keterlambatan jadwal pemenuhan produk yang dipesan konsumen dapat merugikan perusahaan dalam hal ini image yang kurang baik.

2.4. Proses Pengalengan Ikan Tuna
2.4.1.  Persiapan Wadah Kaleng
Menurut Adawyah (2007), di dalam pengalengan suatu produk penting diperhatikan untuk selalu menggunakan jenis kaleng yang sesuai produk, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perubahan warna. Kaleng-kaleng yang akan digunakan hendaknya diperiksa solderannya, adanya karat atau cacat lainnya, misalnya lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang telah cacat hendaknya jangan digunakan.
Kaleng yang baik kemudian dicuci dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung plastik atau dipak dalam karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air.
Jenis kaleng yang digunakan untuk pengalengan ikan tuna harus bersifat tahan terhadap korosi, terutama pada bagian dalam (yang kontak dengan produk). Salah satu cara untuk mencegah terjadinya korosi pada kaleng adalah dengan melapisi kaleng dengan enamel. Enamel sendiri merupakan bahan organik yang dilapiskan pada kaleng untuk melindungi dari korosi dan juga untuk mencegah kemungkinan terjadinya kontak antara bahan makanan dengan kaleng yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada produk pangan. Enamel yang biasa digunakan pada kaleng ikan adalah jenis non metal, seperti fenolik dan epoksi fenolik (Choles,dkk, 2003).
2.4.2. Penerimaan Bahan Baku
Menurut SNI 01-2712.2 (1992), setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan teknik sanitasi dan higiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar harus segera dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu maksimum 5°C. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku, apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus disimpan dalam es yang bersuhu -25°C. Bahan baku yang dalam keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya harus disimpan pada suhu chilling (0°C).
Untuk bahan baku harus dilakukan thawing sebelum diproses untuk menghilangkan lapisan es pada ikan. Menurut Akbarsyah (2006), pada proses thawing bak harus diisi air yang bertujuan untuk mencegah kerusakan fisik pada ikan, pada saat ikan yang dijatuhkan di dalam bak thawing.
2.4.3. Pencucian dan Penyiangan
Menurut Moeljanto (1992), pencucian  dan penyiangan ikan tuna pada proses pengalengan antara lain :
Isi perut dan bagian-bagian yang tidak dikalengkan (kepala, sirip-sirip, ekor, dan daging bagian perut) untuk jenis ikan tertentu seperti tuna dipisahkan.
a.  Pada pengalengan ikan-ikan besar seperti tuna, duri dan tulang-tulangnya harus dibuang. Kepala dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan. Untuk ikan yang bersisik lebih dulu sisiknya dibuang, terutama untuk ikan yang besar.
b.   Setelah disiangi, ikan dicuci sebersih-bersihnya. Pencucian dapat dilakukan dengan tangan, kalau perlu disikat atau disemprot dengan air. Air pencuci sebaiknya mempunyai mutu seperti air minum karena bila mutunya diragukan akan menjadi sumber pengotoran serta pembusukan. Persediaan air bersih cukup banyak. Ikan segar dapat juga dicuci dengan brine encer. Pencelupnya ke dalam brine akan membantu melarutkan sisa-sisa darah dan lendir, juga tekstur daging menjadi lebih kompak dan rasanya lebih enak. Sebelum disiangi, jangan terlalu lama ikan terendam dalam air hingga menjadi lembek. Penyiangan dan pencucian bahan mentah harus diawasi baik-baik sesuai dengan syarat-syarat kesehatan. Sebab, langkah permulaan ini menentukan mutu dan besarnya kerugian-kerugian akibat pembusukan dan kerusakan fisik. Sampah dan sisa-sisa isi perut segera dibersihkan kembali, termasuk ruangan yang kotor merupakan sumber bakteri pembusuk maupun bakteri-bakteri patogen.
2.4.4. Penggaraman
Menurut Moeljanto (1992), penggaraman atau brining selain bermanfaat untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan lendir pada ikan atau memperbaiki tekstur daging, juga untuk mempertahankan cita rasa asli ikan. Penggaraman dilakukan secara langsung dengan menaburkan garam atau dengan merendam ikan dalam brine sebelum pengalengan.
Menurut Adawyah (2007) dalam pembuatan brine harus dipakai garam murni atau setidak-tidaknya kotoran dalam garam kurang dari 1% (misalnya garam-garam magnesium, garam kalsium), tanpa kotoran-kotoran lain seperti debu atau lumpur. Kristal garamnya harus halus. Bila kotoran lebih dari 1%, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang merugikan. Misalnya, adanya unsur besi (Fe) dalam garam dapur menyebabkan brine menjadi berwarna (seharusnya jernih) dan menimbulkan endapan dalam kaleng; selama perebusan dan sterilisasi garam-garam Ca menyebabkan terjadinya endapan putih sehingga daging ikan dalam kaleng mengeras; adanya Na-sulfat dan Mg-sulfat yang berlebihan mengakibatkan rasa agak pahit.
2.4.5. Pengukusan Pendahuluan (Precooking)
Menurut Moeljanto (1992), apabila daging dipanasi, maka sebagian air yang dikandungnya (yang berasal dari protein daging) akan  keluar. Pada ikan tuna misalnya, air yang keluar kurang lebih 17,5% sedangkan pada sardine kurang lebih 19-34%. Hal ini tergantung pada kandungan lemaknya. Apabila semua air yang keluar itu tertampung di dalam kaleng (setelah kaleng ditutup), maka saus atau mediumnya menjadi lebih encer. Bila medium/sausnya berupa minyak, maka setelah proses sterilisasi saus minyak akan tercampur air. Sebab itu, kikan harus dikukus dan air di dalam kaleng dibuang sebelum kaleng ditutup. Caranya yaitu dengan meniriskan atau mengukus ikan sebelum dipotong-potong.
Menurut SNI 01-2712.2 (1992),  ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100° - 105° C.
2.4.6. Pemisahan Daging Merah dan Daging Putih
Menurut Effendi (2008), dalam pemprosesan pengalengan ikan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan daging saat sebelum pengisian dalam kaleng. Ikan tuna dipilih daging yang putih dan dihilangkan daging merahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari kemungkinan pencemaran daging yang nantinya akan dikalengkan oleh Histamin. Histamin sendiri merupakan senyawa nitrogen organik terlibat dalam respon imun lokal serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan juga bertindak sebagai pengirim reaksi dalam sitem kerja tubuh. Histamin memicu respon protektif. Sebagai bagian dari respon kekebalan terhadap patogen asing. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan penciutan dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah.
Akbarsyah (2006), daging ikan yang telah melalui proses open atau precook menjadi lunak sehingga mudah untuk memisahkan tulang tengah dengan daging.
Menurut Moeljanto (1992), pisau yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus untuk memisahkan dan membersihkan loin dari daging merah atau kehitaman. Seekor ikan dibelah menjadi empat potong dengan tangan kemudian dikukus. Akibat pengukusan itu, daging ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan kepalanya sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang menempel dipisahkan, kulit yang berwarna hitam kelabu (bila belum dibersihkan) disisir dengan pisau sampai bersih. 
2.4.7. Pengisian Ikan di dalam Kaleng
Menurut Effendi (2008), besarnya ikan yang akan dimasukkan dalam kaleng disesuaikan dengan ukuran kaleng. Ikan tuna berukuran besar biasanya dikemas dalam kaleng berbentuk oval, sedangkan ikan dengan berukuran kecil dikemas dalam kaleng berbentuk oval kecil. Pada waktu pengisian harus diperhatikan agar masih terdapat ruangan kosong di bagian atas kaleng (head space), sehingga pada waktu proses exhausting (penghampaan) masih ada tempat untuk pengembangan isi kaleng. Isi yang terlalu penuh akan menyebabkan kaleng menjadi cembung, yang meskipun tidak menyebabkan kebusukan tetapi akan menurunkan mutunya karena disangka buruk, selain dari pada head space berguna untuk merapatkan penutupan kaleng.
          Menurut Moeljanto (1992), dari tuna loin dan serpihan-serpihan daging putih dihasilkan beberapa golongan daging. Cara pengisiannya ke dalam kaleng juga ada beberapa pengemasan khusus, yaitu :
a.    Solid pack
Potongan-potongan loin yang utuh, besar dan kompak diisikan ke dalam kaleng; sedapat mungkin dalam satu kaleng hanya berisi satu sampai tiga potong daging tanpa serpihan-serpihan daging.
b.    Chunk pack
Tuna loin atau serpihan-serpihan daging putih yang besar-besar diiris dengan ukuran tertentu. Setelah dimasukkan ke dalam kaleng lalu ditekan-tekan hingga mencapai berat dan ketinggian yang sudah ditentukan.
c.    Flake pack
Sama dengan chunk pack, tetapi ukuran potongan-potongan daging tidak seragam.
d.    Grated pack
Sebelum daging diisikan ke dalam kaleng, digiling lebih dulu, dan pengisiannya agak dipadatkan untuk memenuhi berat netto dan celah pemisah yang telah ditentukan.
Dalam pengisian, kaleng tidak diisi penuh, melainkan disisakan ruang kosong pada bagian atas kaleng ±1 cm. ruangan ini disebut head space, yang berguna untuk menyediakan ruang yang cukup untuk pemuaian isi kaleng pada waktu sterilisasi, sehingga tidak merusak kaleng (Murniyati dan Sunarman 2000).

2.4.8. Metal Detector
Nanang (2011), Sebuah detektor logam adalah perangkat yang merespon logam yang mungkin tidak mudah terlihat. Detektor logam juga digunakan untuk mendeteksi benda asing dalam makanan, dan industri konstruksi untuk mendeteksi baja tulangan dalam beton dan pipa dan kabel dimakamkan di dinding dan lantai.
2.4.9. Penambahan Medium
            Didalam pengalengan terdapat medium yang digunakan sebagai medium untuk mengurangi resistensi terhadap kaleng dan organisme pembusuk.
Medium yang dapat digunakan antara lain :
a.   Medium asam
Pada medium asam ini dapat menggunakan sari tomat dengan asam sitrat, laktat atau asetat untuk mengubah resistensi Bacillus thermoacidurans terhadap panas.
b.   Medium Gula
Beberapa peneliti menduga bahwa larutan gula dapat menaikkan resistensi spora dengan terjadinya dehidrasi parsial protoplasma sel, melindungi protein dari koagulasi.
c.   Medium garam
Garam dalam larutan (sampai empat persen) dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan tetapi kadar yang lebih tinggi  (8 persen atau lebih) menurunkan resistensi spora terhadap pemanasan.
d.   Medium Lemak
Lemak atau minyak mempunyai daya menghambat dalam usaha mematikan spora bakteri dengan pemanasan lembab serta berperan sebagai agensia penyedap dan memiliki daya mengawetkan.
Menurut Moeljanto (1992), apabila sebagai saus/medium adalah brine, maka airnya harus berstandar air minum. Sedangkan garamnya juga harus semurni mungkin (kadar NaCl kalau bisa 99,9%). Kepekaan brine biasanya sekitar 3% atau dapat ditambahnkan sebagai pellet (pill) garam. Pemakaian brine, selain memberikan rasa yang lebih enak, juga dapat memperbaiki tekstur daging dan memberikan warna yang mengkilap pada kulit ikan.
Menurut Adawyah (2007), air yang akan digunakan untuk membuat larutan garam harus bebas kalsium dan magnesium. Di dalam beberapa hal diperlukan untuk memanaskan air terlebih dahulu, kemudian dibiarkan mengendap dan disaring. Larutan garam dibuat dengan cara menambahkan sejumlah garam ke dalam air, biasanya larutan garam 2% dapat digunakan untuk sebagian besar produk kalengan. Di dalam pembuatan larutan garam tersebut sebaiknya digunakan wadah stainless steel atau tangki yang dilapisi gelas/plastik untuk mencegah terjadinya korosi pada metal.
Larutan garam yang digunakan dalam pengalengan harus dipanaskan sampai mendidih dan kemudian ditambahkan ke dalam wadah (kaleng/gelas) yang sudah berisi produk. Sebagian industri pengalengan yang besar, kadang-kadang menggunakan juga garam berbentuk tablet. Tablet garam tersebut ditaruh di atas produk di dalam wadah, kemudian ditambahkan air mendidih ke dalam wadah tersebut (Adawyah,2007).
2.4.10. Penghampaan Udara
Menurut Adawyah (2007), sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam wadah sebelum operasi penutupan. Di dalam wadah yang sudah ditutup tidak diinginkan adanya oksigen, karena gas itu dapat bereaksi dengan bahan pangan atau bagian dalam kaleng sehingga akan mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Penghampaan udara juga berguna untuk memberikan ruangan bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan produk dari dalam dapat dihindarkan, juga berguna untuk menaikkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial temperature).
Head space adalah ruang di antara tutup wadah dengan permukaan produk. Besarnya bervariasi tergantung pada jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya sekitar 0,25 inchi, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jars, direkomendasikan head space yang lebih besar. Besarnya head space dalam wadah sangat penting diperhatikan, apabila terlalu kecil akan menyebabkan pecahnya wadah akibat ekspansi (pengembangan) produk selama proses sterilisasi. Apabila head space terlalu besar, sejumlah kecil udara akan terperangkap dalam kaleng sehingga akan mengakibatkan terjadinya oksidasi dan perubahan warna produk.
2.4.11.  Penutupan Kaleng
Menurut Moeljanto (1992), cara menutup kaleng adalah dengan memasang tutup di atas badan kaleng, lalu melipat ujungnya secara rapi (sealing). Dapat juga dengan memutar tutupnya bila wadah terbuat dari kaleng atau gelas, seperti aluran sekrup. Supaya rapat, biasanya dibagian dalam tutup diberi sebuah karet. Penutupan kaleng dilakukan dengan mesin penutup (sealing machine). Ada juga yang disebut double seamer sebab proses penutupan kaleng terjadi dua kali (rol pertama dan rol kedua).
Mesin penutup kaleng hampa udara (vacuum seaming machine) apalagi yang otomatis biasa digunakan oleh pabrik pengalengan yang besar. Prinsipnya adalah menarik oksigen dan gas-gas lain dari dalam kaleng dan kemudian segera dilakukan penutupan wadah (Moeljanto, 1992).
2.4.12. Pemanasan (Sterilisasi)
Menurut Moeljanto (1992), ikan dan makanan lain yang berkadar asam rendah, cara pengawetannya dimasukkan ke dalam kaleng/botol untuk diproses pada suhu 115º-120º C (240º -250º F), yaitu dengan memasukkannya ke dalam retort atau pressure cooker yang tahan tekanan 1-2 atm.
Menurut Adawyah (2007), sterilisasi atau lebih dikenal dengan istilah processing adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan makanan. Processing tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
Makanan yang berasam rendah dengan pH di atas 4,5 memerlukan pemanasan yang lebih kuat dibandingkan dengan makanan yang bersifat asam dan berasam tinggi. Ikan memiliki pH mendekati netral, yaitu 6,8 biasanya diproses dengan suhu 121oC dengan waktu tergantung pada cepat lambatnya perambatan panas untuk mencapai titik terdingin makanan dalam kaleng, serta daya tahan mikroba yang mengkontaminasi makanan.
2.4.13. Pendinginan (cooling)
Pendinginan dapat dilakukan dengan memasukkan keranjang berisi kaleng panas ke dalam bak air. Cara lain adalah dengan memasukkan air dingin ke dalam retort setelah selesai pemprosesan. Sebelum dimasukkan kedalam air dingin, biasanya kaleng dicuci dengan air sabun yang hangat (Moejanto, 1992).
Menurut Adawyah (2007), wadah harus cepat didinginkan segera setelah proses sterilisasi selesai, dengan tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir. Apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk cenderung terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya. Selain itu, selama produk berada pada suhu antara suhu ruang dan suhu proses, pertumbuhan spora bakteri tahan panas akan distimulir. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan mati.
2.4.14. Pemasangan Label (labeling)
            Setelah dingin kaleng diberi label sesuai dengan keinginan produsen, pemberian label ditujukan untuk mengetahui bahan yang digunakan dan untuk mengetahui kapan waktu produksi sehingga dapat menentukan masa kadaluarsannya, dan tentunya dengan pemberian label produk akan dikenal masyarakat (Adawyah, 2007).
Agar hasil pengalengan (iklan), dapat laku dan tersebar luas pasarnya, maka perlu pemasangan label yang direncanakan dengan baik dan dengan baik dan dengan cap (merk=brand) yang terkenal, besar sekali pengaruhnya. Bentuk gambar, susunan huruf dan kombinasi warna harus menarik dan jelas tetapi sederhana. Cap dan gambar sebaiknya jangan terlalu panjang dan rumit, supaya pembeli mudah mengingatnya (Moeljanto, 1992).
2.4.15. Penyimpanan
Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur, dan vitamin yang dikandung oleh bahan, akibatnya akan  menyebabkan terjadi reaksi kimia. Selain itu, juga akan memacu pertumbuhan bakteri yang pada saat proses sporanya masih dapat bertahan.
Untuk mencegah timbulnya karat pada bagian luar kaleng atau tumbuhnya jamur, kelembaban ruang penyimpanan hendaknya diatur serendah mungkin. Bahan yang menggunakan gelas jars harus dihindari dari cahaya, karena dapat menurunkan mutu beberapa produk makanan kaleng akibatnya dari perubahan warna dan rusaknya beberapa macam vitamin (Adawyah, 2007).
Eko, H.R dan Teuku Muamar (2007), uji pemeraman dilakukan untuk mengetahui kesempurnan sterilsasi.
2.5. Sanitasi dan Higiene
            Sanitasi dan Higiene didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness atau foodborne disease) serta mencakup usaha perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan (Rina, 2007).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sanitasi dan higiene adalah:
2.5.1. Sanitasi dan Higiene Bahan Baku             
            Pendapat dari Wibowo (2003), akibat kecerobohan, tergesa-gesa atau sembrono, sehingga ikan ada yang terluka, terkelupas kulit/sisiknya, terkena benda tajam dan lain-lain. Luka apapun yang dialami ikan, akan mudah sekali menyebabkan cepat terjadinya kebusukan, sebab memberikan peluang bagi kuman-kuman menjalankan peranannya. Baik kuman dari luar, maupun yang sudah hinggap di badan ikan.
Bahan baku yang digunakan adalah tuna, dimana tuna tersebut dapat dengan mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme yang dapat berasal dari lingkungan hidupnya (air laut) maupun selama transportasi dari laut sampai ke pabrik melakukan penanganan selama proses pengolahan berlangsung untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang terdapat pada ikan Tuna ( Yunita, 2012).
2.5.2. Sanitasi dan Higiene Bahan Pembantu
Bahan tambahan yang digunakan adalah air dan es. Menurut Purnawijayanti (2001), Air yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air yang dapat diminum, diantaranya:
a.    Bebas dari bakteri berbahaya serta bebas dari ketidak murnian kimiawi
b.    Bersih dan jernih
c.    Tidak berwarna dan tidak berbau
d.    Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)
e.    Menarik dan menyenangkan untuk diminum
Menurut Imesh (2012), ikan yang dijual dalam keadaan segar selalu membutuhkan suhu yang dingin sehingga mutu ikan yang dijual dapat dipertahankan. Es merupakan cara yang paling umum digunakan, karena selain murah, es juga mudah didapatkan. Es yang dipergunakan harus berasal dari air yang bersih dan kualitasnya terjamin. Untuk hasil yang lebih baik, es yang digunakan harus berasal dari air yang siap minum. Sebaiknya es yang digunakan untuk menjaga suu ikan sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu, sehingga proses perpindahan suhu terjadi secara lebih efektif.
2.5.3. Sanitasi dan Higiene Peralatan
Wibowo (2003), menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara sanitasi dan higiene pada peralatan adalah sebagai berikut:
a.    Tempat pencucian ikan dikosongkan jika tidak digunakan dan dibersihkan dengan desinfektan yang cocok.
b.    Semua wadah yang kontak langsung dengan ikan harus dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.
Menurut Adawyah (2007), kaleng yang baik kemudian dicuci dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih. Tutup kaleng jangan dicuci untuk menghindari terjadinya kerusakan pada gasket. Oleh karena itu, tutup kaleng harus selalu dijaga kebersihannya, misalnya dibungkus dengan kantung plastik atau dipak dalam karton, sehingga kaleng terhindar dari debu dan uap air.
2.5.4. Sanitasi dan Higiene Ruang Proses
Menurut Wibowo (2003), sanitasi dan higiene pada ruang proses adalah sebagai berikut:
a.    Lantai ruang pengolahan dan fasillitas lain hendaknya disemen dengan bahan yang tidak berbahaya dan mudah dibersihkan.
b.    Lantai, ruang pengolahan, dan peralatan dibersihkan setiap hari atau setelah akhir proses.
c.    Membatasi kesempatan bagi lalat, serangga lain, dan rodensia untuk masuk ke ruang pengolahan, misalnya dengan memasang kawat kasa pada pintu masuk dan jendela, memasang jeruji baja pada saluran pembuangan air, menutup tempat sampah dan sebagainya.
d.    Permukaan dinding dibuat dari bahan yang kuat, halus, kering dan tidak menyerap air serta mudah dibersihkan, sehingga tidak mudah ditumbuhi oleh jamur atau kapang yang akan mengotori dinding dan tempat berkumpulnya kuman.
2.5.5. Sanitasi dan Higiene Karyawan
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga sanitasi dan higiene karyawan dijelaskan oleh Wibowo (2003) sebagai berikut:
a.    Selalu menjaga kebersihan badan
b.    Membiasakan diri bekerja dengan baik, disiplin, dan mengikuti prosedur yang berlaku.
c.    Mengenakan pakaian kerja/celemek lengkap dengan penutup kepala, sarung tangan dan sepatu kerja. Pakaian dan perlengkapan hanya dipakai untuk bekerja
d.    Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai kegiatan mengolah pangan sesudah menangani bahan mentah atau bahan/alat yang kotor dan sesudah ke luar dari toilet/ jamban.
e.    kesehatan karyawan harus diperiksa secara periodik agar tidak ada seorang karyawan menderita penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan.
            Purnawijayanti (1999), yang menyatakan bahwa kebiasaan tangan dari pekerja mempunyai andil yang besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminan dari manusia ke makanan.


1 komentar:

  1. assalamualaikum Wr.Wb
    igin thau sumbernya dari mana saja ya untuk refrensinya misalkan dari literatur mana ya soalnya saya sangat butuh materi ini mohon bantuannya

    BalasHapus