Kamis, 04 Desember 2014

Supplier Ikan Laut

JUAL BERBAGAI JENIS IKAN LAUT SEGAR
(KAKAP MERAH, KAKAP PUTIH, KERAPU SUNU, KTB MONCONG DLL)





















CV. Putra Pagerungan menjual ikan laut hasil tangkapan dari daerah kepulauan sapeken di antaranya kakap merah, kakap putih, kerapu, ktb moncong dll.
Yang berminat bisa menghubungi nomer telpon 085607028789 atau email akmal.arrahman.alzaky@gmail.com.

Kualitas dan mutu ikan terjamin.




Selasa, 18 November 2014

Pengalengan Ikan Tuna

LAPORAN PRAKTIKUM PENGALENGAN IKAN TUNA (Thunnus sp.)



V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.      Proses Pengalengan Ikan Tuna
            Secara garis besar, proses pengalengan ikan Tuna di PT. Bali Maya Permai ini sudah sesuai dengan Prosedur Proses Pengalengan Ikan Tuna berdasarkan SNI 01-2712.2-1992 yang meliputi : Penerimaan Bahan Baku, Chilling / Thawing (Pelelehan), Butchering(Penyiangan), Pre-cooking (Pemasakan Awal), Cooling (Pendinginan), Cleaning (Pembersihan), Cutting (Pemotongan), Filling (Pengisian), Pengisian Medium, Seaming (Penutupan Kaleng), Retorting (Sterilisasi), Isolasi, Packaging (Pengemasan), Storaging (Penyimpanan).
5.1.1.   Penerimaan Bahan Baku
Bahan baku ikan Tuna segar diterima dalam keadaan segar utuh dengan suhu antara 0º- 4ºC dan ada pula dalam keadaan beku (Frozen) dengan suhu di bawah -6ºC. Dengan jenis ikan yang bervariasi, seperti Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Baby Tuna, Tuna Long Tail, Tuna Albacore, dan Tuna Tonggol. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712-1992 yang menjelaskan bahwa bahan baku tuna kaleng harus memenuhi syarat seperti : salah satu jenis ikan yang digunakan adalah tuna Albacore, bentuk bahan baku yang digunakan adalah berupa ikan tuna segar atau beku, utuh , atau tanpa isi perut dan insang.
Penerimaan bahan baku tidak menentu sesuai dengan permintaan buyer dan proses produksi yang akan dilakukan. Rata – rata bahan baku yang diterima setiap kali penerimaan yaitu + 19 – 20 ton seperti yang terlihat pada Lampiran 5.
Ikan –ikan Tuna ini diterima dari beberapa suppliyer yang telah lama mejalin kerjasama dengan PT. Bali Maya Permai, diantaranya yaitu : Bandar Nelayan (Denpasar), Ex. Ramon (Denpasar), Anto (Muncar), dan masih banyak lainnya. Ikan yang diterima ini tidak langsung diturunkan dari truk pengangkut (container). Sebelum dinyatakan Release atau lolos dan boleh diturunkan dari truk untuk digunakan sebagai bahan baku, ikan – ikan tersebut harus melewati pengujian awal terlebih dahulu, yaitu pengujian organoleptik, histamin, dan kadar garam yang dilaksanakan oleh bagian Quality Assurance di Laboratorium Kimia millik PT. Bali Maya Permai. Uji Organoleptik berpatokan pada kenampakan, bau, warna, tekstur, insang, daging, mata seperti pada Lampiran 6. Sehingga hasil akhir ikan Tuna yang digunakan adalah yang memiliki Grade I dan beberapa dari Grade II. Ikan Tuna Grade II yang digunakan biasanya hanya untuk pemasaran produk dalam negeri (lokal) dan jumlahnya disesuaikan dengan produk yang dibutuhkan. Sedangkan ikan Tuna yang memiliki Grade III dan IV dinyatakan tidak layak untuk diproduksi dan akan dikembalikan ke suppliyer. Hal ini sesuai dengan pendapat Junianto (2003) yang menyatakan bahwa pengujian organoleptik sangat dibutuhkan dalam penerimaan awal bahan baku untuk mengetahui tingkat kesegaran ikan yang dapat dilihat dari kenampakan (kulit,sisik), insang berwarna merah cerah, bau tidak amis, mata ikan jernih dan menonjol, tekstur daging kenyal, dan sirip yang masih kuat.
Menurut Wahyuni  (2006) bila tidak ditangani dengan baik selama proses penangkapan dan penanganan ikan Tuna khususnya bila suhu ikan melebihi 4,4ºC, maka asam amino histidin akan terkonversi menjadi senyawa beracun, histamin, oleh bakteri Proteus Morganii sehingga pengujian histamin sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi adanya senyawa beracun tersebut dalam tubuh ikan dan dapat mengakibatkan keracunan pada konsumen. Cara pengujian histamin dapat dilihat pada lampiran 7.
Selain itu menurut Moeljanto (1992), pengujian kadar garam sangat dibutuhkan untuk penentuan takaran penggunaan garam dalam proses pengalengan sehingga diperoleh hasil akhir kadar garam setelah sterilisasi yang paling baik yaitu 1,1 – 1,6 %. Dan metode pengujian kadar garam ini disajikan pada lampiran 8.
Bahan baku yang telah dinyatakan lolos dari pengujian – pengujian tersebut kemudian dikeluarkan dari truck kountainer menuju ke Cold Storage dengan mencatat beratnya, nomer Lot/ palkah, jumlah per ekornya dan nomer ruang Cold Storage hingga ikan dibutuhkan untuk proses produksi berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa sebaiknya bahan mentah (ikan) disimpan dalam keadaan beku sambil menunggu waktu proses. Untuk mempertahankan kualitasnya.
5.1.2.   Pelelehan (Thawing)
            Ikan yang akan digunakan dalam proses produksi kemudian diangkut menuju ke ruang thawing, lalu di letakkan dalam bak pelelehan yang terbuat dari batu, pasir, dan semen dengan permukaan halus dan berukuran masing – masing 184 cm x 135 cm x 76 cm sesuai dengan nomor kedatangan dan akan dicatat waktu  proses thawingnya. Thawing dilakukan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dengan suhu 26º-27ºC selama 2 – 6 jam tergantung dari jenis dan ukuran ikan, tiap bak mampu menampung ikan sebanyak + 800 kg. hal ini sesuai dengan Wahyuni  (2006) yang menyatakan bahwa proses thawing dilakukan dengan melakukan perendaman ikan dalam air dingin mengalir sesuai ukuran ikan (untuk ikan kecil 2 jam, sdangkan ikan ukuran besar 6 – 10 jam).
            Air yang digunakan dalam proses produksi pengalengan ikan Tuna di PT.
Bali Maya Permai adalah air yang berasal dari sumur dalam (deep well) yang terdapat pada empat titik penting di perusahaan tersebut. Air yang berasal dari sumur ini telah mendapatkan uji klinis terhadap kualitas fisika dan kimianya yang dilakukan berkala tiap 3 bulan di Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Denpasar dan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri di Balai Besar Industri Agro Bogor. Data hasil pengujian kualitas air ini dapat dilihat pada Lampiran 9.. Hal ini sesuai dengan pendapat Said ( 2007) yang menyatakan bahwa air yang digunakan selama tahap persiapan, pengolahan, maupun pencucian alat dan pekerja haruslah air yang bersih dan sesuai dengan standar air minum seperti : bebas bakteri, bersih dan jernih, tidak berwarna dan berbau, tidak mengandung bahan tersuspensi. Dan salah satu jenis sumber air yang baik yaitu air tanah yang pada umumnya lebih bersih daripada air permukaan.
            Sedangkan es yang digunakan dalam proses produksi adalah es balok yang dibeli langsung dari perusahaan es balok yang terletak di sebelah Timur perusahan. Es yang digunakan adalah yang telah memenuhi syarat es sebagai bahan pembatu. Hal ini pun sesuai dengan pendapat Purwaingsih (1995) yang menyatakan bahwa es yang digunakan juga haruslah berstandar air minum apabila menggunakan air yang tercemar, atau air yang keruh maka bakteri akan menyebar terhadap bahan baku yang akan diolah.     
5.1.3.   Penyiangan (Butchering)
            Setelah di thawing maka ikan akan dikeluarkan dari dalam bak pelelehan dan diletakkan diatas konveyor berjalan satu per satu secara bergantian berdasarkan nomor kedatangan dan nomor bak untuk kemudian dilakukan penyiangan.
            Untuk ikan kecil yang berukuran dibawah 9 kg penyiangan dilakukan hanya dengan menyayat bagian perut dan membuang isi perutnya. Sedangkan untuk ikan berukuran di atas 9 kg akan dipotong menjadi 2 atau 3 bagian tergantung ukurannya. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992 yang menyatakan bahwa untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar dilakukan pemotongan bagian badan menjadi ukuran yang sesuai dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-cooking.  Diperkuat pula oleh Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa isi perut dan bagian – bagian yang tidak dikalengkan pada jenis ikan seperti Tuna harus dipisahkan setelah atau sebelum pengukusan pendahuluan.
5.1.4.   Pemasakan Awal (Pre-Cooking)
            Setelah disiangi dan dipotong, ikan terebut kemudian ditata pada rak cooker yang berbahan dasar baja. Penyusunan potongan –potongan ikan itu diklasifikasikan berdasarkan bagian dan ukurannya. Dalam satu rak terdapat lima buah sekat (layer), masing – masing layer mampu menampung + 25 potongan ikan. Dalam ruangan pre-cooking terdapat 3 buah cooker baja yang memiliki panjang 596 cm, lebar 170 cm, dan tinggi 247 cm. dengan kapasitas masing – masing sekitar 3 ton.
Pada proses ini menggunakan uap berekanan yang diperoleh dari mesin pembuat uap (boiler). Air yang digunakan dimesin uap (boiler)  secara intensif akan mendapatkan perlakuan khusus yang disebut dengan proses Softener. Proses Softener ini dilakukan untuk mengurangi kesadahan air. Hal ini sesuai denga pendapat Said (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan air sadah dalam proses pengolahan makanan kurang menguntungkan kaena dapat menyebabkan terbentuknya lapisan/ kerak pada alat pengolahan terutama alat untuk proses pemanasan atau perebusan. Untuk lebih jelas mengenai cara kerja softener dapat dilihat pada Lampiran 10.
Proses pemasakan awal akan dilakukan dengan waktu yang berbeda sesuai dengan jenis dan ukuran ikan. Dengan suhu rata – rata 100º - 110º C selama 1- 2 jam yang dapat dilihat pada Lampiran 11. Hal ini sesuai dengan Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa pemasakan pendahuluan dilakukan untuk ikan berlemak seperti tuna dengan suhu 102,2º – 104,4ºC selama 1 – 2,5 jam sesuai dengan jenis dan ukuran ikan. Pendapat Wahyuni pun diperkuat oleh SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun umumnya berkisar 1 – 4 jam (mampu mereduksi 17,5 % kadar air dari daging ikan) dengan suhu pemasakan 100o - 105o C.
            Pada perusahaan ini terdapat dua buah mesin uap yang memiliki kapasitas 15 ton air dan menghabiskan 6 ton bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan dalam mesin uap ini adalah batu bara yang diperoleh dari pemasok asal Kalimantan dan Gresik. Untuk lebih jelas mengenai cara pengoprasian mesin uap berdasarkan  SOP (Standart Oprational Procedure) dapat dilihat pada Lampiran 12.
            Selain proses pre-cooking, dalam mesin cooker ini juga dilakukan proses pendinginan (cooling) selama 2 jam yang dilakukan dengan memanfaatkan air bersih yang bersuhu 26º-27ºC selama 1 jam disemprotkan melalui 100 lubang – lubang kecil dalam tungku cooker. Setelah itu kemudian disusul penyemprotan dengan menggunakan air es yang bersuhu chilling berkisar antara 0º-5ºC selama 1 jam.   Hal ini tidak sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa Ikan yang telah dimasak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30o C) dalam waktu maksimum 6 jam.
5.1.5.   Pembersihan (Cleaning)
            Setelah ikan dikeluarkan dari mesin cooker, maka ikan akan didistribusikan ke ruang pembersihan. Sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa pada ikan – ikan besar seperti Tuna,  duri dan tulang – tulangnya harus dibuang kemudian kepalanya dipisahkan setelah atau sebelum proses pemasakan pendahuluan.
Pada perusahaan ini proses pembersihan dilakukan dengan membersihkan insang, sisa isi perut, tulang belakang, kepala dan siripnya sehingga yang tersisa hanya tinggal daging yang masih lengkap dengan kulit serta duri – duri kecilnya. Kemudian akan di bersihkan dari kulitnya dengan cara dikerik dengan menggunakan pisau kecil Stanless Steal 304 , membuangan daging merah dan duri – duri kecil. Hal ini sesuai dengan  SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah.
Dari bentuk ikan segar hingga didapatkan bagian daging putihnya  saja diperoleh rendemen sebesar 59%, hal ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2007) yang menyatakan bahwa sandar rendemen untuk Ikan Tuna adalah sebesar 58, 67%.
5.1.6.   Pemotongan
            Ikan dari bagian pembersihan akhir kemudian akan dilewatkan pada mesin Metal Detector untuk memastikan bahwa daging ikan tersebut bebas dari fragment metal yang dapat mempengaruhi kualitas produk.
            Kemudian para pekerja akan memotong ikan menjadi 2 bentuk, yaitu potongan pokok dan potongan serpihan (waste atau flake). Jumlah dari masing – masing bagian disesuaikan dengan bentuk bagian daging ikan yang dipotong.. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah, dipotong - potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong secepatnya harus dimasukkan/diisikan ke dalam kaleng.
5.1.7.   Pengisian (Filling)
Pengisian daging pada tiap – tiap kaleng berbeda – beda tergantung pada ukuran kaleng, jenis medium, dan bentuk potongan yang diminta oleh pembeli / buyer. Pengisian untuk kaleng besar dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja manusia sedangkan untuk kaleng kecil pengisian dilakukan dengan menggunakan mesin. Isian kaleng dibagi menjadi tiga macam yaitu : Solid (terdiri dari potongan pokok), standar (terdiri dari 2 – 3 potongan pokok dan 10% serpihan) dan chunk (terdiri dari 2 - 3 potongan siap makan dan 10% serpihan). Hal ini sesuai dengan SNI 01-2712.2-1992, proses pengalengan ikan tuna yang menyatakan bahwa pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk, flake, standard, grated).
a) Solid         : 1 – 2 potong daging putih, bebas serpihan.
b) Standard  : 2 – 3 potong daging putih, serpihan maksimum 2 %.
c) Chunk      : serpihan daging putih ± satu kali makan, sepihan flake maks 40 %.
d) Flake        : potongan daging kecil < chunk
e) Grated      : daging kecil (flake, tidak seperti pasta)
Tabel 6. Standar Pengisian Kaleng
 
sehingga diperoleh pengisian produk sesuai dengan standar perusahaan seperti yang terlihat pada Tabel berikut :
Produk
Kaleng Besar (603 x 408)
Kaleng Kecil (307 x 113/112/108)
Filling Weight
Net Weight
Filling Weight
Net Weight
Chunk
1075 g
1780-1885 g
111 g
170 – 185 g
Solid
1225 g
1885 g
127 g
200 g
Sumber : (Manual HACCP PT. Bali Maya Permai, 2013)
 
Flake
1075 g
1885 g
-
190 g
           Kaleng yang digunakan pada perusahaan ini didatangkan dari  PT. Cometa Can, PT. UCC, dan PT. IMCP Surabaya dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Kaleng yang digunakan adalah kaleng yang telah dilapisi dengan enamel sesuai dengan United can company (1990), yang menyatakan bahwa untuk menghindari kemungkinan terjadinya proses karat atau perubahan warna (discolorisation) produk, maka pada lapisan luar dari permukaan kaleng bagian dalam diberi lacquer atau coating. Dari berbagai jenis coating, khusus untuk olahan ikan digunakan jenis SR (Sulphur Resistant) atau yang disebut C-enamel.
Spesifikasi kaleng yang digunakan pada PT. Bali Maya yaitu seperti pada Tabel 7 berikut :
Tabel 7 : Spesifikasi Kaleng
 
 
Description
Can Body
Top End
Type & Set
307 x 108
307
Plate Material
ET Non 0.18mm DR 0
ET Non 0.21mm T4
Inside Enamel
Aluminized
Aluminized
Outside Enamel
Gold / Aluminized
Gold / Aluminized
Sealing Sistem
-
Compound
Sumber : (Manual HACCP PT. Bali Maya Permai, 2013)
 
Temper
DR 8
3
            Kaleng yang digunakan dalam produksi Tuna adalah kaleng dengan jenis Two Can Piece (307 x 108) dan Three Can Piece ( 603 x 408)  yang non-printing. Hal ini sesuai dengan United can company (1990), Ada 2 jenis kaleng yang umum digunakan dalam pengalengan yaitu Three piece cans yang mempunyai ukuran (diameter) yang tidak terbatas, mempunyai range yang luas terhadap ketebalan kekerasan dari lembaran timah yang digunakan untuk badan dan tutup kaleng, mempunyai daya perlindungan yang tinggi terhadap isi kaleng. Dan Two Piece Cans yang tidak mempunyai sambungan sisi sehingga terhindar dari sisi kaleng, mempunyai daya tahan terhadap tumpukan yang tinggi, tidak terdapat hasil pematrian, dapat disablon sehingga dapat mengurangi biaya pelabelan dan mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan dengan three piece cans.
            Saat penerimaan, kaleng akan di uji terlebih dahulu dengan metode sampling. Dalam setiap kaleng yang datang 30 % nya diambil secara acak untuk dijadikan sampel. Kemudian akan diuji spesifikasinya cara pengujian yang terdapat pada lampiran 13.
            Kaleng yang akan digunakan disimpan dalam gudang penyimpanan kaleng dan didistribusikan ke ruang produksi dengan cara meluncurkannya dari atas melewati jalur yang terbuat dari rangkaian besi menuju meja penampungan kaleng dalam ruang produksi. Sebelum sampai pada meja penampungan, kaleng tersebut akan melewati sebuah kotak besi yang didalamnya terdapat sprayer yang akan mencuci kaleng secara otomatis sebanyak dua kali dengan menggunakan air bersih. Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007) yang menyatakan bahwa permukaan peralatan yang berkontak langsung dengan produk harus dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu minimal dengan air bersih.
5.1.8. Pengisian Medium.
            Setelah kaleng terisi dengan daging ikan, maka proses selanjutnya adalah pengisian medium. Medium yang digunakan sesuai dengan permintaan buyer. Ada tiga jenis medium yang tersedia untuk produk Tuna yaitu Larutan Garam (in Brine), Minyak Soya (in Oil), dan Sambal Pedas (Hot Spicy). Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa di Indonesia ada tiga jenis saus yang sering digunakan dalam produk ikan kaleng yaitu saus tomat, brine, dan minyak atau minyak dengan cabai ditambah bumbu – bumbu lainnya.
            Dalam produksi pengalengan ikan Tuna, ada empat medium yang tersedia. Penggunaan medium ini tergantung dari pesanan / order dari buyer.
a.    Garam, pada produk Tuna in Brine  atau Tuna dalam Larutan Garam dibeli dari PT. Sumatraco dengan spesifikasi yang telah sesuai dengan standar. Garam akan direbus sebelum digunakan sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa sebelum dipakai hendaknya brine direbus lebih dulu untuk mengendapkan zat – zat yang tidak perlu dan mematikkan mikroorganisme yang merugikan.
b.   Minyak, pada produk Tuna in Oil atau Tuna dalam Minyak didatangkan langsung dari PT. Pangan Lestari yang mendistribusikan minyak dari Soon Soon Oil Mills Sdn Bhd Malaysia, Sunny Group China, Smart Agribusiness and Food, dan Ngo Chew Hong Edible Oil Pte. Ltd. Yang akan diuji FFA atau asam lemak bebasnya sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa minyak yang digunakan harus bermutu tinggi dan tidak mengandung asam lemak bebas (Free Fatti Acid)  untuk menjaga penurunan mutu ikan kaleng (ketengikan). Prosedur pengujian FFA dapat dilihat pada lampiran 14.
c.   Vegetable Broth (VB), ada beberapa buyer yang memita agar produk ikan Tuna Kaleng yang diproduksi agar diberi tambahan VB (Vegetable Broth).  Yaitu berupa tepungan dari bahan dasar kedelai yang berfungsi untuk mengentalkan medium.
d.   Bumbu – bumbu, dalam produksi Tuna Hot Spicy atau Tuna Sambal Pedas adalah media yang dibuat sendiri dengan resep asli milik perusahaan dari bahan dasar bawang merah, bawang putih, cabe, garam, gula, dan bumbu rahasia lainnya. Sebelum digunakan, bahan – bahan tersebut akan dicek terlebih dahulu untuk memastikan bahwa bahan tersebut berkualitas baik dan terjaga kesegarannya. Sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa bumbu dan bahan yang digunakan dalam pembuatan medium haruslah yang masak, segar, utuh, dan berkualitas baik.
5.1.8.    Penutupan Kaleng (Seaming)
            Kaleng yang telah diisi potongan daging dan medium kemudian akan menuju ke mesin penutupan kaleng. Dalam ruang proses ini terdapat lima buah mesin penutup kaleng (Vaccuum Seamer), dua mesin penutup kaleng besar dengan kecepatan menutup kaleng 18 kaleng/menit dan tiga buah mesin penutup kaleng kecil dengan kecepatan 25 kaleng/menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan Vaccuum Seamer akan mengurangi tekanan didalam kelang sehingga tidak pecah selama sterilisasi, mengurangi kemungkinan oksidasi dan korosi, mengurangi kehidupan bekteri aerob, dan menjaga kandungan Vitamin C.
            Kaleng yang keluar dari mesin penutup kaleng kemudian akan dialirkan menuju ruang retort melalui jalur yang terbuat dari rangkaian besi yang telah dirancang khusus.
5.1.10. Sterilisasi (Retorting)
            Kaleng yang menuju ruang retort kemudian akan ditata dalam keranjang retort. Pada ruangan ini terdapat delapan buah bejana retort untuk produksi Tuna.      Sebelum digunakan, mesin retort disetting terlebih dahulu temperaturnya. Temperatur dan lama waktu sterilisasi tergantung dari ukuran kaleng, jenis ikan dan jenis medium yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa proses sterilisasi dalam retort dengan pemanasan sesuai dengan jenis ukuran kaleng, media, dan tipe produk dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukuran, semakin kecil ukurannya maka semakin sedikit waktu yang dibutuhkan, sedangkan semakin besar ukurannya maka semakin banyak waktu yang dibutuhkan. Berdasarkan medium, setiap medium memiliki tingkat pemanasan yang berbeda tergantung dari masa jenisnya. Untuk lebih jelasnya tentang standar proses sterilisasi dapat dilihat pada Lampiran 15.
            Setelah dinyatakan selesai, proses berikutnya adalah penurunan suhu. Proses ini dilakukan didalam retort dengan menyemprotkan air dingin bersuhu 26º - 27ºC hingga bejana terisi penuh dengan jangka waktu yang tidak ditentukan hingga suhu produk yang ada dala bejana turun menjadi sekitar 55º - 60ºC. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2006) yang menyatakan bahwa pendinginan harus dilakukan secepatnya setelah sterilisasi untuk mencegah terjadinya pemanasan lebih lanjut dan menyebabkan daging hancur. Dan cara pendinginan yang baik adalah dengan menyemprot kaleng menggunakan air dingin atau direndam dalam tangki yang berisi air dingin.
5.1.11. Isolasi (Isolating)
            Setelah kaleng dikeluarkan dari mesin retort maka kaleng – kaleng dalam keranjang tersebut diangkut menuju ruang isolasi dengan menggunakan Katrol. Kaleng – kaleng tersebut dibiarkan dalam keranjangnya tanpa mendapat perlakuan apapun selama minimal 4 hingga 8 jam. Perlakuan ini bertujuan untuk mengisolasi atau membebaskan kaleng dari bakteri dan kontaminan setelah di sterilisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Destrosier (1988) yang menyatakan bahwa setelah proses pengalengan maka produk harus disimpan dalam kondisi dimana pembusukan biologis tidak akan terjadi oleh pengaruh kontaminasi silang.
            Setelah produk dinyatakan siap untuk dikemas, maka akan dilakukan pengujian pada produk akhir. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan sudahlah sesuai dengan standar yang berlaku dan tidak mengecewakan buyer. Untuk proses pengujian produk akhir dapat dilihat pada Lampiran 16.
5.1.12. Pelabelan dan Pengemasan (Labeling and Packaging)
            Kaleng yang telah diisolasi akan dipindahkan ke bagian pengelapan. Pengelapan ini bertujuan untuk membersihkan sisa–sisa kotoran, oli, dan air yang menempel pada permukaan kaleng.  Setelah itu produk tersebut akan diangkut menuju gudang jadi dengan menggunakan ForkLift.
            Pada proses akhir sebelum produk didistribusikan atau dipasarkan akan dilakukan proses pelabelan dan pengemasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa agar hasil pengalengan dapat laku dan tersebar luas pasarannya maka perlu dilakukan pelabelan.
            Produk ikan Tuna pada perusahaan ini  menggunakan kaleng non printing, maka harus digunakan label yang berbahan kertas. Supplier label yang bekerjasama dengan PT. Bali Maya Permai yaitu diantaranya : PT. Mitra Gravika Malang, dan PT. Sinar Harapan Surabaya. Sebelum diterima secara utuh, label tersebut akan dicek terlebih dahulu. Dilihat dari kesesuaian ukuran, warna, dan keterangan tulisan dengan master label yang digunakan sebagai pedoman/ patokan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa pada label harus dinyatakan keterangan – keterangan, seperti nama perusahaan, jenis ikan, jenis saus, dan berat isinya. Keterangan yang tertera pada label harus sesuai dengan isi kaleng.
            Selain label, kemasan yang terpenting sebagai wadah untuk mempermudah dalam penyimpanan dan pendistribusian adalah karton. Master karton yang digunakan haruslah sesuai dengan standar yang telah ditentukan yaitu seperti pada Tabel 8 berikut :


Tabel 8. Standar Karton PT. Bali Maya Permai.
 
 
ITEM
STANDART
Inside Dimension
470mm x 314mm x 114mm
Substance
200 wk/ 125/ 150k
Weight
346 gram
Sumber : (Manual HACCP PT. Bali Maya Permai, 2013)
 
Busting Strength
7.00 Kgf/cm2
Edge Crush
4.00 Kgf/cm2
Pada gudang jadi, kaleng – kaleng tersebut akan diberi label sesuai dengan ukuran kaleng, jenis produk, dan buyer yang memesan produk tersebut. Ada dua jenis label, yaitu label untuk produk yang dipasarkan dalam negeri (local) dan produk yang akan dipasarkan ke luar negeri. Label produk yang dipasarkan dalam negeri ada dua macam yaitu Tuna dalam Minyak (Tuna In Oil) dan Tuna Sambal Pedas (Tuna Hot Spicy) dengan Brand “King’s Fisher”. Sedangkan untuk produk yang akan di ekspor adalah Tuna dalam Larutan Garam (Tuna in Brine) dan label yang digunakan untuk produk ekspor ke luar negeri ada berbagai macam sesuai dengan tujuan ekspornya, seperti Brand “Deep Blue”, “Ruby”, “Sysco”, “Celebrity”, dan lain sebagainya.
Untuk ukuran label yang digunakan disesuaikan dengan ukuran kaleng produk, yaitu (3 cm x 28 cm) untuk kaleng kecil ukuran 307 x 108 dan (10,6 cm x 49,8 cm) untuk kaleng besar ukuran 603 x 408. Perekatan label menggunakan lem kertas sejenis lem merk “Fox” yang memiliki daya rekat dan daya awet yang baik sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa dalam pemasangan label harus diperhatikan pula perekatnya. Lebih baik menggunakan lem yang lebih mahal tetapi hasilnya memuaskan dari pada menggunakan lem aci yang harganya murah namun hasil rekatannya tidak maksimal.
Penyusunan produk dalam karton dilakukan dengan mengisi 24 kaleng Tuna ukuran 307 x 108 dalam satu karton untuk dipasarkan dalam negeri (local) dan 48 buah untuk yang ekspor. Sedangkan untuk produk kaleng ukuran 603 x 408 dalam satu karton berisi 6 kaleng produk.
5.1.13. Penyimpanan (Storaging)
            Dalam gudang penyimpanan barang jadi terdapat berbagai produk Tuna maupun Sarden yang telah siap untuk dipasarkan. Namun sebelum didistribusikan ke tangan konsumen, produk – produk tersebut disimpan dalam gudang dengan menerapkan sistem FIFO (First In First Out). Setiap produk yang datang akan dicatat tanggal masuknya per hari dan kemudian dikondisikan agar saat adanya pesanan atau ketika produk akan didistribusikan maka produk yang awal harus dikeluarkan lebih dahulu.
            Namun proses pengeluaran barang ini pun tidak selamanya dapat diberlakukan dengan sistem FIFO, karena disesuaikan dengan pesanan dan permintaan buyer.  Tetapi tetap diusahakan agar produk yang pertama datang, maka harus pertama pula keluarnya.
5.2.      Sanitasi dan Higiene
            Sanitasi dan higiene dalam setiap proses produksi pengalengan ikan harus sangat diperhatikan dan dijaga. Karena dengan menerapkan sistem sanitasi dan higiene yang baik akan mencegah adanya kontaminasi silang dan cemaran sehingga akan mampu menjaga kualitas dari produk akhir yang dihasinya.
a.)          Sanitasi dan Higiene Bahan Baku
Bahan baku yang didatangkan oleh perusahaan, akan mendapatkan pengujian laboratorium terlebih dahulu dengan perlakuan yang sangat higiene yaitu petugas menggunakan peralatan yang bersih dalam melaksanakan tugasnya. Setelah dinyatakan Release maka bahan baku akan dipindahkan dalam keadaan beku menuju gudang penyimpanan beku maupun menuju ke ruang proses dengan tetap menjaga kebersihan dan suhunya. Dan kemudian akan dicuci bersih sambil di thawing sebelum bahan baku diproses untuk membuang semua kotoran yang menempel pada permukaan bahan baku. Hal ini sesuai dengan Purwaningsih (1995), sanitasi dan higiene bahan baku sangat penting artinya bagi bahan olahan yang telah jadi. Dalam sanitasi dan higiene yang perlu dilakukan pada penerimaan bahan baku adalah setelah dibongkar, bahan baku dicuci dahulu dengan dengan air bersih sebelum ditimbang atau dimasukkan ke ruang proses pengolahan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kotoran dan bakteri yang terbawa dari perairan.
b.)          Sanitasi dan Higiene Bahan Pembantu
Bahan pembantu yang digunakan dalam perusahaan ini yaitu air dan es. Air dan es yang digunakan adalah air dan es yang benar – benar bersih dan terjaga kualitas serta sanitasi dan higienenya. Air yang digunakan adalah yang yang berstandar air bersih yang telah mendapatkan pengujian baik secara fisika, kimia,maupun biologi dari pihak – pihak yang berwenang. Sedangkan es yang digunakan adalah es yang dibeli dari perusahaan pembuat es yang telah teruji klinis dan mampu menyertakan bukti pengujian kesehatan es hasil produksinya.
 Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007) yang menyatakan bahwa Air yang digunakan selama tahap persiapan, pengolahan, maupun pencucian alat dan pekerja oleh karena itu air yang digunakan harus memenuhi standar persyaratan air bersih . Sedangkan, es yang digunakan juga haruslah berstandar air minum apabila menggunakan air yang tercemar, atau air yang keruh maka bakteri akan menyebar terhadap bahan baku yang akan diolah. Sanitasi air untuk pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan menyediakan air yang memenuhi persyaratan serta menjamin tidak terjadinya kontaminasi makanan.
c).        Sanitasi Peralatan
            Setiap peralatan yang digunakan dalam proses pengalengan ikan Tuna ini akan dicuci bersih dengan menggunakan bahan pembersih / saniter dan air yang diberi klorin 100 - 150 ppm saat sebelum dan sesudah digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Said (2007), yang menyatakan bahwa semua peralatan serta perlengkapan pembantu yang digunakan dan operasi pengolahan harus selalu mendapatkan perhatian, perawatan dan perbaikan agar selalu bersih dan saniter. Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan dengan bahan yang diolah (kecuali terhadap produk akhir yang dikemas), harus di bersihkan dan di desinfeksi sekurang–kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter. Ditambahkan oleh Purnawijayanti (1999), bahwa semua peralatan yang digunakan untuk proses produksi harus didesain sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan diawasi kebersihannya serta terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak merupakan sumber kontaminasi.
d).        Sanitasi Pekerja
Pada unit pengalengan ikan Tuna ini, setiap karyawan, petugas maupun pengunjung yang hendak memasuki ruang proses, diharuskan untuk menggunakan pakaian kerja bersih yang telah disediakan diruang ganti pakaian seperti penutup kepala, jas kerja, masker, sepatu boat naun tanpa dilengkapi dengan sarung tangan. Sebelum memasuki ruang proses, pekerja harus membersihkan sepatu boat dengan mencalupkannya ke bak pencucian kaki yang telah berisi air klorin 200 ppm, kemudian mencuci tangan dengan sabun cuci tangan selama 20 detik, membilasnya,dan mencelupkan kembali kedalam air klorin 50 – 75 ppm.
Pekerja yang dalam keadaan sakit dan hamil, diharuskan untuk beristirahat dan tidak bekerja dulu sebelum benar – benar sehat dan siap untuk bekerja. Kesehatan karyawan sangat diperhatikan dengan adanya pemberian jaminan kesehatan  dan pelaksanaan pemeriksaan kebersihan. Pemeriksaan kebersihan karyawan seperti pemeriksaan kuku dilakukan setiap hari saat pekerja baru saja datang dan hendak melaksanakan absen kehadiran dibagian front office HRD. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Said (2007), yang menyatakan bahwa kesehatan pekerja harus diperiksa secara periodik agar tidak ada seorang pekerja pun menderita penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan. Pimpinan unit pengolahan harus melarang pekerja bekerja apabila sakit atau menderita penyakit yang dapat ditularkan kepada bahan baku dan produk akhir. Oleh karena itu pekerja yang bekerja harus  :
a)    Dilengkapi dengan memakai  pakaian kerja, topi atau penutup kepala, sarung tangan dan sepatu
b)    Tidak memelihara kuku
c)    Kontrol  kesehatan pekerja.
e).        Sanitasi Lingkungan.
Pada setiap unit usaha pengolahan perikanan, faktor kebersihan lingkungan sangatlah mempengaruhi kualitas produk akhir yang dihasilkan. Untuk mencpai hasil yang memiliki kualitas dan mutu yang baik, maka sanitasi lingkungannya pun harus baik dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Pada PT. Bali Maya Permai konsidi lingkungannya nyaris sesuai dengan pendapat Wignjosoebroto (1996), dimana pada setiap ruangan produksi sangat terjaga kebersihannya. Setiap sumber kontaminan dijauhkan dari bahan baku, bahan pembantu, dan bahan tambahan produk.
Namun pada desain bangunan dan ruangannya tidak sesuai dengan pendapat Wignjosoebroto (1996), yaitu Lantai ruang yang digunakan untuk pekerjaan basah harus mempunyai kemiringan yang cukup (minimal 30), terbuat dari bahanyang kedap air, tahan bahan kimia, permukaannya halus dan rata, mudah dibersihkan dan pertemuan antara lantai dan didinding harus melelngkung (tidak membentuk sudut). Sedangkan pada PT. Bali Maya Permai lantai ruangannya berbahan dasar keramik yang berbentuk persegi dan bersekat – sekat sehingga mempermudah kotoran, air, dan sisa – sisa produksi untuk menempel dan menjadi tempat pertumbuhan bakteri.
Selain itu Wignjosoebroto menambahkan bahwa Langit-langit : Ruangan tempat pengolahan harus mempunyai langit-langit (palfon) yang tidak retak, tidak becelah, tidak terdapat tonjolan dan sambungan yang terbuka. Sedangkan yang terdapat dilapangan langit – langit ruang produksi terbuat dari bahan yang bersekat sehingga mempermudah terjadi kontaminasi.